Sumbangan Orang Belanda Pada The History of Java


Ilutrasi HC Cornelius Reruntuhan Candi Prambanan (Roy Jordaan, The Lost Gatekeeper of Candi Prambanan A Glimpse of The VOC Beginnings of Javanese Archaeology)
Seusai kunjungan resmi ke keraton Yogya dan Solo, Letnan Gubernur Jawa, Stamford Raffles, mampir sejenak di Semarang pada 1814.
Di sana, Raffles mempertemukan Bupati Yogyakarta berdarah Tionghoa, Tumenggung Secodiningrat atau Tan Jin Sing dengan seorang militer bagian Zeni berkebangsaan Belanda, Hermanus Christian Cornelius.
Pertemuan mereka menindaklanjuti laporan pandangan mata Tumenggung Secodiningrat mengenai gundukan besar reruntuhan candi di Bumisegoro dekat Muntilan.
Raffles menunjuk HC Cornelius menjadi juru survei dengan tugas menginvestigasi reruntuhan candi, “dikenal masyarakat adat bernama Borro-Boedoor,” tulis Prof. Bernet Kempers, Ageless Borobudur: Buddhist Mystery in Stone, Decay and Restoration, Mendut and Pawon, Folklife in Ancient Java.
HC Cornelius bersama Tan Jin Sing lantas memulai perjalanan menuju selatan, memutuskan berbelok sebelum Salatiga, lalu menyusuri jalan di antara gunung Merapi dan Merbabu, kemudian tiba di Bumisegoro.
Mereka mendapati bangunan setinggi hampir 30 meter dipenuhi belukar, tumbuhan rambat, dan tumpukan batang pohon. Gundukan itu tertutup abu vulkanik tebal.
Sang juru survei tentu mengerti bagaimana harus berbuat. Dia bukan orang baru di dunia purbakala, meski berlatar insinyur dan militer.
Catatan awal keterlibatan Cornelius pada penelitian kepurbakalaan di Hindia Belanda, tersua ketika sang juru survei mendapat instruksi Nicolas Engelhard, Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa, untuk menginvestigasi reruntuhan candi Prambanan.
Cornelius melakukan investigasi awal, memetakan benda-benda purbakala, dan membuat ilustrasi Prambanan pada 1805, sebelum Inggris menginjakan kaki di Jawa.
Tapi Cornelius tidak membuat keterangan khusus tentang Loro Jonggrang. “Hal justru dilakukannya untuk dua candi di dekatnya, Sewu dan Kalasan, malah membuat lengkap dengan sebuah denah lapangan dan rencana pemugaran,” tulis Prof. Bernet Kempers, Herstel in eigen waarde: Monumentenzorg in Indonesie.
Pada tahun 1807, Cornelius telah menghasilkan gambar Candi Sewu, berupa denah serta tampak muka candi induk dan candi pewaranya. Raffles kemudian menggunakan kembali gambar-gambar miliknya, kecuali denah, untuk bahan baku The History of Java.
Raffles sangat ceroboh menggunakan hasil riset dan gambar Cornelius. Denah secara keseluruhan tidak berbentuk bujur sangkar, melainkan persegi empat berukuran 540 x 541 persegi. Jumlah candi pewara pun diubah, kemudian dibuat kesalahan baru dengan menambahkan dereta kedua dan ketiga sehingga berjumlah 296 candi, sementara catatan Cornelius hanya 248 Candi.
Tampaknya gambar etsa Cornelius kurang bermutu, “akhirnya Raffles menyuruh membuat dua gambar grafis yang memperlihatkan keadaan bangunan pada tahun 1815,” tulis Jacques Dumarcay, Candi Sewu, dan Arsitetktur Bangunan Agama Buddha di Jawa Tengah.
Beralih pada reruntuhan candi Borobudur. Cornelius mempekerjakan sekira 200 pekerja didominasi penduduk kampung terdekat. Para pekerja membabat semak belukar, memindahkan batang-batang besar, serta membersihkan sisa abu vulkanik. Butuh kala selama dua minggu agar sebagian teras-teras candi Borobudur dapat dilihat.
“Cornelius ketika pertama kali melihatnya, maupun Raffles ketika merenungkannya kemudian, sama-sama tak mampu sepenuhnya menguraikan sejarah asli Borobudur,” tulis Tim Hanningan, Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa. Tak aneh bila porsi uraian Borobudur pada The History of Java begitu sedikit dibandingkan Prambanan.
Catatan penelitian, deskripsi, juga etsa Cornelius mengenai Borobudur juga digunakan Raffles pada karyanya, sehingga seolah dia terlibat langsung melakukan penelitian di Bumisegoro.
Raffles, melalui karya The History of Java, terbit pada 29 Mei 1817, disanjung masyarakat Eropa sebagai ‘penemu’ candi Borobudur, meski seorang berkebangsaan Swedia, Frederik Julius Coyett mendatangi dan mencuri sejumlah patung di sana pada tahun 1733.
Meski begitu, Letnan Gubernur Jawa tersebut tetap menjadi motor penggerak investigasi candi Borobudur dan menghimpun pengetahuan kepurbakalaan. Dari kerja kepurbakalaan, menurut John Bastin, Introduction The History of Java (1978), Raffles sangat bergantung pada orang-orang lain, termasuk orang Belanda seperti HC Cornelius berikut para asisten terutama; J Flikkenschild, AF van der Geugten, PC Karsseboom, J Knoops Jr, dan JB Wardenaar.
Selain benda purbakala, Raffles pun memanfaatkan naskah-naskah Jawa di perpustakaan Weltevreden dan Buitenzorg berikut hasil penelitian para orientalis Belanda. Salinan manuskrip Jacobus Albert van Middelkoop, bahkan menjadi tulang punggung cerita sejarah Jawa pada The History of Java.
JA van Middelkoop, seorang penerjemah naskah-naskah tradisional Jawa, menyusun sejarah Jawa mulai dari pembabakan masa Mataram Kuna, pada pertengahan abad XVII hingga mangkatnya Amangkurat II, dengan menggunakan babad dan kompilasi keterangan penduduk setempat. Salinan tersebut disebut Manuskrip Middelkoop.
“Sebagian besar bab ini (bab 10 mengenai sejarah Jawa) dan bab berikutnya dipinjam melalui parafrase atau kutipan langsung, tanpa mengutip sumber utama, dari koleksi naskah JA van Middelkoop,” tulis Donald E Weatherbee, “Raffles`Source for Traditional Javanese Historiography and The Mackenzie Collections”, Indonesia Volume 26 Oktober 1978.
Tak terhitung pelbagai catatan sensus penduduk, laporan resmi pemerintah Belanda, dan hasil penelitian ahli-ahli Belanda turut memperkaya khazanah The History of Java.
Raffles memanfaatkan hasil kerja orang-orang Belanda, sembari mengutuk mereka tak acuh terhadap keluhuran sejarah dan budaya Jawa di dalam mahakaryanya.
“Kebijakan Belanda nan sempit,” ungkap Raffles, “tidak memberi kesempatan kepada bangsa lain melakukan penelitian. Perhatian dan usaha mereka pada perdagangan terlalu eksklusif sehingga tidak memiliki perhatian lagi terhadap peninggalan-peninggalan tersebut”. (*)