Sosiolog Sebut Golput Bentuk "Pelarian Politik"

Andika PratamaAndika Pratama - Senin, 02 April 2018
Sosiolog Sebut Golput Bentuk

Ilustrasi golput. Foto: net

Ukuran:
14
Font:
Audio:

MerahPutih.com - Seorang sosiolog menilai golput atau tidak menggunakan hak pilih dalam pilkada merupakan bentuk "pelarian politik" dan ketidakberhasilan untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah mengatakan masyarakat harus mengubah paradigma yang dinilai salah selama ini.

Masyarakat harus menyadari jika golput tersebut bukan hak dan bukan bagian dari hak asasi, melainkan salah satu bentuk kewajiban sebagai warga negara.

Jika memberikan suara dalam pilkada dianggap sebagai hak, maka akan muncul persepsi faktor itu dianggap biasa saja, termasuk mau digunakan atau tidak dalam demokrasi.

Ilustrasi golput

Jika kesempatan itu diberikan, lalu tidak digunakan karena memilih dianggap hanya sebatas hak, akan muncul pemahaman untuk tidak bertangung jawab atas pemerintahan karena tidak ikut memberikan suara.

"Seolah-olah, kalau golput, tidak perlu bertanggung jawab karena tidak memilih. Itu memunculkan kecenderungan untuk tidak peduli," ujarnya di Medan, Minggu (1/4) seperti dikutip Antara.

Namun, kata Ansari, kalau memilih dianggap menjadi sebuah kewajiban, akan muncul rasa bersalah jika tidak ikut menggunakan suara dalam pilkada.

Kemudian, jika sudah terlibat dalam demokrasi, masyarakat akan merasa berkewajiban untuk mengawal pemerintahan yang dihasilkan.

"Jika sudah merasa wajib memberikan hak pilih, akan merasa wajib juga mengawal pemerintahan," kata Ansari yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam UIN Sumatera Utara itu.

Ia menambahkan, jika mengambil keputusan untuk golput, akan muncul kemungkinan pemimpin yang terpilih tidak sesuai dengan keinginan.

Jika kondisi itu yang muncul, masyarakat akan mudah terpengaruh, bahkan mudah terprovokasi karena merasa dipimpin orang yang tidak sesuai keinginannya.

Padahal melalui pilkada, masyarakat justru diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin. "Karena itu, orang yang golput tersebut seperti orang tidak punya sikap, itu pelarian politik, orang-orang yang tidak berani menunjukkan sikap," ujar Ansari.

Karena itu, alumni Leiden University Belanda tersebut malah menilai anggapan bahwa golput menjadi hak asasi sebagai bentuk pembodohan politik.

"Itu sama dengan membuang kesempatan orang untuk berpartisipasi dalam bernegara," katanya.

Dalam konteks kenegaraan, golput juga merugikan pemerintah, baik dari konteks anggaran karena banyak logistik pilkada yang sia-sia, maupun dari aspek legitimasi pemerintahan.

"Negara rugi, meski mengeluarkan anggaran besar tapi sia-sia karena adanya golput. Pemimpin juga rugi karena tidak mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat," ujar Ansari Yamamah.

#Golput Pilkada
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Berita Terkait

Lifestyle
Apa Itu Golput, dan Seperti apa Dampaknya?
Golput atau golongan putih adalah istilah yang merujuk pada individu atau kelompok yang memilih untuk tidak memberikan suara dalam pemilihan umum.
ImanK - Sabtu, 31 Agustus 2024
Apa Itu Golput, dan Seperti apa Dampaknya?
Indonesia
5 Persen Warga DKI Golput Administratif Jangan Terjadi Lagi
Pada Pemilu 2019, angka Golput akibat administratif mencapai 5 persen.
Zulfikar Sy - Sabtu, 21 Januari 2023
5 Persen Warga DKI Golput Administratif Jangan Terjadi Lagi
Bagikan