Skizofrenia, Gangguan Kejiwaan yang Sering Diabaikan


Kesehatan jiwa sering diabaikan di Indonesia. (foto: pixabay/ryanmcguire)
PERMASALAHAN kesehatan di masyarakat tak hanya kesehatan secara fisik. Kesehatan jiwa tak boleh luput dari perhatian. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, di Indonesia prevalensi gangguan jiwa emosional yang dicirikan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun mencapai 14 juta orang atau 6% dari dari penduduk Indonesia. Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Kesehatan jiwa, khususnya skizofrenia, masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang terabaikan. Padahal, gangguan jiwa tersebut merupakan penyakit jiwa terberat dan kronis. Skizofrenia merupakan penyakit seumur hidup yang menjadi beban bagi penderitanya. “Gejala pertama biasanya muncul pada masa remaja atau dewasa muda, walaupun ada juga yang baru muncul ketika usianya di atas 40 tahun,” jelas Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, dr Eka Viora SpKJ.
Tak ada yang tahu pasti penyebab skizofrenia. Banyak faktor yang terjadi secara bersamaan sehingga memunculkan skizofrenia. Faktor tersebut umunya ialah faktor genetik, kondisi prakelahiran, cedera otak, trauma, tekanan sosial, atau stres. Penggunaan narkotika dan obat-obatan psikotropika juga bisa memicu skizofrenia. Periode awal dari psikosis yang tak ditangani dapat memperburuk kondisi pengidap skizofrenia.

Penderita memiliki gangguan dalam memproses pikirannya sehingga muncul halusinasi, delusi, dan pikiran tak jelas. Akibatnya, mereka kerap kali menunjukkan perilaku tak wajar. Hal tersebut membuat para penderitanya mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Beberapa orang yang mengalami skizofrenia bahkan menarik diri dari dunia luar. Aktivitas sehari-hari mereka pun menjadi tidak produktif dan berpengaruh buruk bagi perkembangan karier penderita. Banyak penderita yang akhirnya berhenti kerja akibat penyakit tersebut.
Penderita skizofrenia membutuhkan pengawasan intensif. Pihak keluarga harus menghabiskan waktu 15 jam setiap minggu untuk mengawasi penderita skizofrenia. Hal itu tentu bisa membuat pihak keluarga merasa lelah dan kehilangan sehingga dapat mengganggu pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan berkeluarga mereka. “Apabila tidak diterapi dengan baik, skizofrenia akan mengakibatkan kekambuhan. Semakin sering kekambuhan terjadi, kondisi pasien akan semakin menurun dan risiko kerusakan otak permanen menjadi semakin besar,” urai dokter Eka.(Avi)