Nilai Kekeluargaan dalam Film 'Kartini'

Reziana Oktaviani NasutionReziana Oktaviani Nasution - Sabtu, 08 April 2017
Nilai Kekeluargaan dalam Film 'Kartini'

Film Kartini (Foto: Liputan6)

Ukuran:
14
Font:
Audio:

Dalam rangka merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April, Legacy Pictures dan Screenplay Films akan merilis film berjudul Kartini pada tanggal 19 April mendatang. Dibintangi oleh nama-nama yang sudah tidak asing di layar Indonesia—Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, dan Reza RahadianKartini mengandung berbagai nilai kehidupan suku Jawa di sekitar tahun 1900.

Film yang berdurasi hampir 2 jam ini bermulai dari Kartini (Dian Sastro) yang, meskipun enggan, akan diangkat menjadi Raden Ayu karena umurnya yang sudah beranjak dewasa. Sesuai dengan tradisi Jawa, setiap perempuan bangsawan harus dipingit mulai dari hari pertama menstruasi hingga mereka dilamar oleh seorang pria bangsawan. Namun saat dipingit Kartini merasa sangat terkurung dan terkekang sehingga muncullah perasaan untuk berontak mencari kebebasan.

Tema feminisme dalam film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini jelas terlihat dari adegan-adegannya hingga soundtrack-nya yang berjudul “Memang Kenapa Bila Aku Perempuan?”. Salah satu adegan di film ini yang sarat akan kebangkitan perempuan adalah saat Kartini dan adik-adiknya membaca, membatik, dan menggambar sketsa ukir. Adegan tersebut mengimplikasikan bahwa Kartini menginisiasi perubahan pada perempuan. Berkatnya, perempuan mulai berkarya, tak kalah dengan laki-laki yang selalu mendominasi dalam hampir setiap aspek kehidupan di kala itu.

Namun selain menjunjung feminisme, film karya Robert Ronny ini pun menawarkan nilai kekeluargaan yang cukup mendalam. Pertama, pengabdian seorang ibu kepada anak-anak dan suaminya. Meskipun Ngasirah adalah ibu kandung Kartini dan Sosrokartono, namun karena statusnya yang bukan keturunan bangsawan, ia harus rela merelakan Raden Mas Adipati Sosroningrat menikah dengan perempuan bangsawan dan bahkan menjadi pembantu rumah tangga di rumah suaminya demi mengurus anak-anaknya.

Yang kedua adalah pembelaan Kartini terhadap ibunya. Kartini menunjukkan kasih sayang seorang anak yang tulus dengan selalu mengabdi kepada ibunya. Ia kerap membela ibunya dan mengatakan kepada saudara-saudaranya, bahkan di depan ibu tirinya, bahwa Ngasirah adalah ibunya dan tidak pantas diperlakukan selayaknya seorang pembantu. Ia bahkan berulang kali memohon untuk memanggil Ngasirah dengan sebutan “Ibu”, bukan “Yu” (sebutan Jawa untuk Bibi).

Dan yang ketiga adalah peran penting seorang kakak kepada adik-adiknya. Sebagai seorang kakak, tugasnya adalah untuk menginspirasi dan menjaga adik-adiknya. Hal ini ditunjukkan oleh Sosrokartono dan Kartini sendiri yang menunjukkan dunia kepada adik-adiknya melalui buku. Selain itu, Slamet Sosroningrat (Denny Sumargo), yang juga kakak Kartini, turut menjalankan perannya sebagai kakak dengan menuliskan surat yang berisikan syarat-syarat pernikahan Kartini untuk Djojodiningrat sebagai bentuk perlindungan aspirasi adiknya.

Karena kental dengan budaya Jawanya, film ini pun digarap dengan Bahasa Jawa. Selain itu, Bahasa Belanda pun ikut dimasukkan ke dalam dialog untuk mendukung setting waktu pada kala itu, di mana orang-orang Jawa berkomunikasi dengan Bahasa Jawa dan mempelajari Bahasa Belanda untuk berinteraksi dengan orang Belanda yang tinggal di tanah Jawa. Namun jangan takut Anda tidak mengerti apa yang disampaikan oleh karakter-karakter film yang kaya akan budaya ini. Untuk memastikan semua orang Indonesia memahami jalan cerita fimnya sudah tersedia subtitle Bahasa Indonesia untuk memudahkan Anda mengikuti alur ceritanya.

Bagikan
Ditulis Oleh

Reziana Oktaviani Nasution

Do the best and pray :)
Bagikan