Silang Pendapat Penggubah Aksara Tua Lontara Bugis-Makassar


Ilustrasi suasana kerajaan Gowa. (Foto/bangkitmedia.com)
MASA pemerintahan Sombaya ri Gowa IX, dipimpin Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tomapa'risi' Kallonna (1512-1546) mencapai titik tertinggi kemajuan pengetahuan.
Salah satunya, menggubah sebuah sistem aksara baru.
Seorang Syahbandar, sekaligus tomailalang kerajaan Gowa, bernama Daeng Pamatte, menjadi sosok penting penggubahan aksara Lontara.
Lontara atau Lontaraq merupakan sistem aksara untuk bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar.
Bentuk aksara Lontara, menurut Prof Mattulada dalam buku Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, merupakan simbol mistik klasik Bugis-Makassar berupa susunan semesta, seperti api, air, tanah, dan angin.
Lontara, lanjut Mattulada, berasal dari Sulapa Eppa Wala Suji. Sulapa Eppa berarti empat sisi, sementara Wala Suji sejenis berbentuk belah ketupat di dalam ritual masyarakat Bugis.Tak heran bila Lontara berbentuk segi empat belah ketupat.
Selain menggubah Lontara, Pamatte juga dianggap sebagai orang pertama menuliskan undang-undang pemerintah kerajaan Gowa, silsilah Tomanurung, dan catatan harian kerja.

Kebesaran nama Daeng Pamatte tertulis dalam Lontara Gowa, berbunyi;
Lapa anne karaeng uru mappare' rapang-bicara, timu-timu ribunduka, sabannara 'naminne Karaenga nikana I Daeng Pamatte, ia sabannara, ia tomailalang, ia to minne Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasarak.
"Baru raja inilah, Tomapa'risi' Kallonna yang pertama membuat undang-undang dan peraturan perang. Syahbandar raja ini bernama I Daeng Pamatte, dia syahbandar, dan dia juga tomailalang. Daeng Pamatte ini juga yang menyusun lontara Makasar," dikutip dari buku Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII, halaman 37.
Jika disimak arti yang tertulis di atas, tak heran jika sebagian sejarawan seperti, Wolhoff dan Abdurrahim menganggap bahwa pencipta aksara Lontara adalah Daeng Pamatte yang menjabat sebagai Syahbandar kerajaan Gowa kala itu.
Namun, Ahmad Rahman dan Muhammad Salim memiliki cara lain dalam menerjemahkan Lontara Gowa tersebut. Mereka mengemukakan bahwa kalimat itu seharusnya diterjemahkan dengan, "Menyusun pustaka dalam bahasa Makassar". Ia menegaskan kalimat di atas tak sertamerta bisa diartikan bahwa Daeng Pamatte lah yang menciptakan Aksa Lontara.
Selain penerjemahan yang kritisi, bukti lain yang mendukung pendapat ini adalah Sure Galigo. I La Galigo merupakan sure tertua di Timur Indonesia yang telah ditulis sekitar abad 14. Sedangkan Daeng Pamatte menjabat pada awal abad 16, yakni 1512-1546.
Pendapat Ahmad Rahman dan Muhammad Salim dipakai Mattulada dalam menafsirkan simbol-simbol aksara Lontara. Menurutnya, bentuk dasar Lontara adalah <> huruf (sa) yang berbentuk segi empat belah ketupat. Hal ini berasal dari kepercayaan dan pandangan mitologis bahwa makrokosmos ini sebagai sulapak eppak walasuji (segi empat belah ketupat). (*)
Baca Juga: I La Galigo, Naskah Epik Mitos Bugis yang Lebih Panjang dari Mahabharata
Bagikan
Berita Terkait
Universitas Indonesia Dokumentasikan Budaya Bugis di Karimunjawa
