"Senjata Makan Tuan" Jenderal Ahmad Yani


Col. A Yani leading a briefing on 12 April 1958. (Foto/wikipedia)
AHMAD Yani beroleh informasi penyusupan (win gate) pasukan Darul Islam di wilayah Pekalongan. Sang Kolonel tak tinggal diam. Ia memerintahkan pasukannya mencegat agar pihak lawan tak bisa bergerak leluasa.
Yani, Komandan Gerakan Banteng Nasional (GBN), dianggap sukses mempersempit ruang gerak pasukan Darul Islam Tentara Nasional Indonesia (DI/TII).
Dari pengalaman bersama GBN, Yani mulai memikirkan membentuk sebuah pasukan Anti-Gerilya. Ia mulau merancang spesifikasi pasukannya, seperti bertinggi badan cukup, berani bertempur jarak dekat, melakukan aksi pendadakan, bertempur dalam jumlah kecil, tak boleh kehilangan jejak musuh, dan mampu merebut senjata musuh.
Pasukan Anti-Gerliya tersebut akhirnya mewujud. Ia memberi nama Banteng Raiders, atau The Banteng Raiders, sesuai keputusan Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro nomor 32/13-4/1952, tanggal 21 Maret 1952. Awal terbentuknya, pasukan The Banteng Raiders hanya terdiri dari 2 kompi.
“Satu kompi di bawah kapten Pujadi dari batalyon 401/Banteng Loreng dan satu lagi di bawah kapten Yasir Hadibroto dari batalyon 402/Rajawali," seperti dikutip dalam artikel Parikesit berjudul ‘Penumpasan DI/TII didaerah GBN’ dimuat majalah Vidya Yudha nomor 30 tahun 1978.

Sebelum diterjunkan ke medan pertempuran, kedua kompi tersebut digembleng di Battle Training Centre (BTC) Bandungan, Sumowono, Jawa Tengah selama dua bulan. Latihan meliputi gemblengan fisik, melempar pisau, dan marching fire atau menembak sambil berjalan.
Di sana pula para pasukan diajarkan taktik perang paling unik, Nyundung dan Ayam Alas.
"Taktik Nyundung, merupakan taktik menyergap lawan di tempat mereka berkumpul. Dalam taktik ini, prajurit Banteng Raiders harus bergerak dalam kelompok kecil, disiplin dalam penyamaran, dan sabar menunggu musuh lengah," tulis Dinas Sejarah AD dalam Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dan Penumpasannya. Sementara taktik Ayam Alas, anggota Banteng Raiders berada di atas pohon untuk pengintaian. Tanpa seragam.
Keberhasialan Banteng Raiders menghentikan gerakan DI/TII membuat pasukan ini melambung. Tak lama, pasukan pun berkembang, dari 2 kompi menjadi satu batalyon.
“Banteng Raiders secara cepat berkembang menjadi satu batalyon. Pada 1958, di Jawa Tengah ada dua batalyon Banteng Raiders. Hal ini menimbulkan rivalitas antara Banteng Raiders dengan RPKAD (Resimen Para Komando Angakatan Darat -red) yang mengklaim sebagai pasukan elit utama,” tulis Kenneth J. Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces.
Di kemudian hari, pasukan bentukan Ahmad Yani tersebut tenyata balik menerkam sang perintis. Bak "senjata makan tuan".
Saat G30S meletus, Ahmad Yani menjadi salah seorang korban. Ia dijemput paksa dini hari, 1 Oktober 1965, oleh pasukan Cakrabirawa nan kebanyakan merupakan batalyon Banteng Raiders 454.
Sekira 60 anggota Banteng Raider wilayah Kodam Siliwangi, pimpinan Letu Dul Arif, bergabung pada pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung.
Pasukan Cakrabirawa melanarkan aksi penculikan dengan sasaran 7 jendral Angkatan Darat. Mereka berhasil membawa 6 perwira tinggi dan seorang ajun inspektur polisi ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana, ketujuhnya meregang nyawa dan dikubur bersamaan di satu lubang, termasuk Ahmad Yani. (*)
Namun dewasanya, The Banteng Raiders membuatnya lupa akan jasa pelopor. Di kemudian hari, tepatnya pada persitiwa 1965, pasukan Banteng Raiders kerap menjadi bahan perbincangan lantaran masuk pada pusaran persitiwa malam 30 September 1965. (*)
Bagikan
Berita Terkait
3 Tempat untuk Mengenang Kejadian G30S PKI

1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila 2024, Begini Sejarahnya
