Secuil Kisah Kehidupan Pinggir Rel

Zahrina IdzniZahrina Idzni - Rabu, 26 November 2014
Secuil Kisah Kehidupan Pinggir Rel

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih Nasional- Masih saja terlihat pada kedua kelopak mata, adanya kehidupan yang masih terbelakang. Buktinya saja, di wilayah stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, tepatnya di pinggir rel kereta yang menuju stasiun tersebut. Jelas-jelas adanya kehidupan yang terpinggirkan keberadaannya. Tempat peristirahatan mereka hanyalah bermodalkan seng-seng bahkan kardus-kardus yang sangat besar sebagai dinding tembok tempat tinggal mereka. Padahal dengan jelas di dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 tertulis, Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Apalagi sekarang ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah dialihkan untuk membantu yang kurang mampu.

Siapakah orang-orang terlupakan itu?

Di pinggir rel selalu berdegup kehidupannya sendiri. Banyak di antara mereka tak memiliki pekerjaan tetap. Bekerja serampangan, asal bisa dapat uang. Kalau dikatakan warga liar, sebagian dari mereka malah mempunyai KTP bahkan bernaung dibawah struktur pemerintah, seperti RT, RW dan sebagainya.

Beberapa kepala keluarga terlihat menempati lahan tersebut. Mata pencarian mereka pemulung. Mencari botol-botol, plastik bekas yang berasal dari sampah-sampah masyarakat. Mereka mengambil dan mengumpulkan barang-barang tersebut demi bertahan hidup. Dalam sehari mereka hanya bisa mengumpulkan satu karung besar barang bekas itu.

Mungkin takdirnya saat ini menjadi pemulung

Namun setelah disaring, mereka hanya berhasil mengumpulkan sekarung kecil. Dan, dihargai Rp 20 ribu tiap karungnya. Inilah yang dialami oleh Pasangan Jawawi (55) dan Ani (49). Suami istri yang telah menetap selama 15 tahun ini tentunya mempunyai suka dan duka. Bagaimanakah?

Baik Jawawi dan Ana ditakdirkan menjadi pemulung saat ini. Pekerjaan ini mereka lakukan demi menunjang kehidupan sehari-hari. Jika seorang dari mereka yang bekerja, tidak akan cukup buat makan. Semakin hari makin naik harga sembako. Apalagi didukung dengan penaikan harga BBM yang baru saja terjadi. Sehari, mereka memperoleh Rp 50-60 ribu. Ditanya mengenai suka dukanya, mereka hanya tersenyum simpul. Seakan-akan mereka tidak mengetahui mana yang senang dan mana yang pahitnya.

"Bayangkan mas untuk saat ini mempunyai uang Rp 50-60 ribu tidak bisa membeli apa-apa. Kebutuhan pokok pun tak cukup," keluh Jawawi yang mempunyai tiga orang buah hati.

BLT dari Pemerintah hanya sekali diterima

Menurutnya, mereka hanya sekali menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah setempat. Itu pun setelah di data lima tahun sebelum penerimaan BLT tersebut. "Namun setelah itu, sampai sekarang ini tidak ada lagi bantuan dari mereka," ungkap Jawawi.

Inilah sedikit gambaran dari kisah keluarga Jawawi dan Ani. Mungkin masih banyak lagi yang mengalami kejadian seperti ini. Bagaimanakah subsidi BBM, apakah sudah sampai ke tangan-tangan yang membutuhkan?

#Nasional
Bagikan
Ditulis Oleh

Zahrina Idzni

Gaul, supel dan berkibarlah bendera negeri, Merah Putih Jaya

Berita Terkait

Indonesia
Harga Minyak Goreng Kemasan Tingkat Nasional Naik di Atas Rp 20 Ribu
Harga minyak goreng kemasan di tingkat nasional mengalami kenaikan. Per Selasa 14 Maret 2023 harga minyak goreng kemasan di atas Rp 20.000.
Mula Akmal - Selasa, 14 Maret 2023
Harga Minyak Goreng Kemasan Tingkat Nasional Naik di Atas Rp 20 Ribu
Bagikan