Raden Panji Margono, Potret Harmonisasi Jawa Muslim-Tionghoa di Lasem

Patung Raden Panjimargono di altar persembahyangan Klenteng Gie Yong Bio Lasem. (MP/Widi Hatmoko)
Berkunjung ke Klenteng Gie Yong Bio Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Anda ada menemui satu keunikan yang tidak ditemui di klenteng-klenteng lain di penjuru dunia. Karena, di klenteng Gie Yong Bio, yang berlokasi di Desa Bagan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang ini, terdapat patung salah seorang tokoh muslim Jawa bernama Raden Panji Margono, yang diletakkan di atas altar, sebagai tempat persembahyangan warga Tionghoa di klenteng tersebut.
Di altar tempat patung Raden Panji Margono ini juga terdapat hio atau dupa, sebagai sarana sembahyang warga Tionghoa. Bambang, salah seorang pengelola klenteng mengaku, diletakkannya patung Raden Panji Margono di atas altar persembahyangan ini adalah sebagai bentuk penghormatan warga Tionghoa terhadap Raden Panji Margono, masyarakat muslim Jawa.
"Ini sebagai bentuk penghormatan, dan ada dua tokoh lagi yaitu Raden Ngabehi Widyadiningrat atau Oei Ing Kiat dan Tan Kee Wie warga keturunan Tionghoa yang berjuang melawan VOC bersama Raden Panji Margono," ujar Bambang kepada merahputih.com, Kamis (26/1).
Seperti diketahui, salah satu fungsi klenteng ialah sebagai tempat penghormatan terhadap tokoh yang dianggap berjasa bagi warga keturunan Tionghoa. Di lingkungan warga keturunan Tionghoa di Lasem, Raden Panji Margono dianggap pahlawan, karena turut bersama-sama berjuang melawan penjajah.
Raden Panji Margono adalah seorang keturunan trah Panji Lasem yang gugur pada peristiwa Perang Kuning (1741-1742). Masyarakat Lasem juga menyebut Perang Kuning dengan nama lain Geger Pecinan. Perang Kuning atau Geger Pecinan ini masih berkaitan dengan peristiwa pembantaian puluhan ribu warga Tionghoa di Batavia oleh VOC.
"Itu kan dulu dengan VOC (perang kuning), waktu pembantaian warga Tionghoa di Batavia," jelasnya. Jasad korban pembantaian VOC di Batavia tersebut dibuang ke Kali Angke, peristiwa ini terjadi pada tahun 1740 atau dikenal juga dengan sebutan 'Tragedi Angke', yang dalam bahasa Belanda disebut Chinezenmoord atau pembantaian orang Tionghoa.
Kemudian, sebagian yang selamat menyingkir ke pinggiran Tangerang dan kelak dikenal dengan sebutan Cina Benteng (Ciben). Sisanya melarikan diri ke Lasem dan meneruskan perjuangan di beberapa wilayah di Jawa. Keberadaan patung Raden Panji Margono di altar persembahyangan ini sekitar 20 tahunan yang lalu, setelah warga Tionghoa Lasem mengetahui sejarah Perang Kuning atau Geger Pecinan.
Diletakkannya patung Raden Panji Margono di salah satu altar persembahyangan di klenteng Gie Yong Bio, yang diperkirakan berdiri tahun 1780-an, selain bentuk penghornatan, juga sebagai bukti persahabatan leluhur kedua komunitas tersebut, yaitu muslim Jawa dan masyarakat Tionghoa. Inilah potret harmonisasi dua budaya antara pribumi Jawa dan Tionghoa.