Post Partum Depression, Uji Mental sang Ibu


Ilustrasi. (Foto: pixabay)
TAK hanya rentan mengalami baby blues, ibu juga dibayangi depresi pascamelahirkan atau yang dikenal dengan post partum depression (PPD).
Depresi pascamelahirkan dialami sekitar 15% perempuan setelah kelahiran. Persentase itu dua kali lipat lebih besar pada perempuan yang juga menghadapi kesulitan finansial.
Meskipun demikian, semua ibu bisa saja terkena depresi pascamelahirkan. Bahkan aktris Gwyneth Paltrow pernah mengalami depresi pascamelahirkan setelah melahirkan anak keduanya, Moses. Awalnya, ia tak menyadari apa yang terjadi hingga akhirnya sang suami, Chris Martin, menyebutkan tentang PPD.
Ada beberapa faktor yang membuat ibu rentang terhadap depresi pascamelahirkan, yaitu:
1. Faktor biologis
Seorang ibu yang mengalami kecemasan & depresi selama kehamilan punya risiko mengidap PPD. Mereka yang punya sejarah penyakit kejiwaan pada diri, seperti bipolar disorder, dan genetik keluarga juga punya risiko yang besar terkena PPD.
Mereka yang punya sejarah perubahan hormon yang berkaitan dengan mood, contohnya PMS dan gangguan fungsi tiroid (hiper maupun hypotiroid) juga patut mewaspadai PPD.
2. Faktor psikologi
Karena PPD merupakan gangguan kejiwaan, faktor psikologis tentunya berperan penting. Sikap mudah khawatir dan perfeksionis menambah tekanan pada ibu.
Selain itu, sejarah pernah mengalami kekerasan, konflik keluarga, hingga broken home juga menjadi faktor risiko terkena PPD. Tekana psikologis lain yakni kekhawatiran akan body image, terlebih setelah melahirkan.
3. Faktor sosial
Pengalaman hidup penuh tekanan selama atau setelah kehamilan, masalah finansial, dan kurangnya dukungan dari keluarga & lingkungan dapat memicu terjadinya PPD.
Selain itu, ibu yang merasa kecewa terhadap jenis kelamin bayi juga rentan mengalami depresi.
Tak hanya jenis kelamin, kondisi kesehatan bayi ikut menambah tekanan pada kondisi kejiwaan ibu, semisal bayi lahir prematur, berat badan lahir kurang, menderita kolik, cacat, maupun sakit lainnya.
Seperti halnya sindrom baby blues, mereka yang mengalami depresi pascamelahirkan juga menunjukkan gejala spesifik, seperti kehilangan minat pada bayi, enggan menyusui, menggendong, dan memeluk.
Pengidap PPD juga sangat sensitif, mudah tersinggung, dan marah. Gejala PPD yang juga kentara, yakni mengalami eating disorder, seperti kehilangan nafsu makan atau justru banyak makan. Mereka juga mengalami sleeping disorder, seperti tidak bisa tidur atau tidur terlalu lama dan di mana saja tanpa melihat waktu dan tempat.
Depresi pascamelahirkan membuat ibu punya pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bayi. Mereka juga amat susah berpikir jernih, selalu curiga pada suami atau orang terdekat, dan menutup diri.
Ibu dengan depresi postpartum yang tidak segera ditangani akan berdampak buruk bagi sang ibu, bayi, maupun hubungan dengan pasangan dan keluarga. Namun, penolakan terhadap pengobatan maupun konseling akan memperparah kondisi maupun percobaan bunuh diri dan membuka lebar peluang sakit yang lebih parah, misalnya psikosis.
Dalam tahap psikosis, ibu mulai berhalusinasi dan mengalami delusi. Depresi akan menetap lebih lama tanpa penanganan. Bayi dengan ibu PPD tanpa penanganan akan mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasa, mengalami masalah ikatan ibu-anak (bonding), bermasalah dalam perilaku, dan lebih sering menangis.
Tentunya hal itu akan menganggu kesehatan mental anak di masa mendatang. Hubungan dengan suami pun akan sering mengalami konflik, apalagi bila suami dan keluarga menolak atau tidak percaya pada depresi dan pengobatannya.
Tuh kan, kesehatan ibu, baik fisik maupun mental, amat memengaruhi kesehatan dan perkembangan anak.(*)
Baca juga Menyintas dari Depresi, Para Selebritas ini Berikan Pelajaran Berharga