Pengamat: Freeport Bisa Dipersepsikan sebagai VOC di Era Digital


Area tambang PT Freeport Indonesia. (FOTO Antara/Muhammad Adimaja)
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, mengatakan, perbedaan pandangan yang semakin meruncing antara pemerintah dan Freeport lebih disebabkan oleh ego sektoral.
"Masing-masing pihak tampaknya menilai keberadaanya dari perspektif posisinya sehingga merasa lebih benar dari yang lain," ujar Emrus Sihombing di Jakarta, Jumat (24/2).
Ia mengatakan komunikasi ketulusan tampaknya semakin tergerus sehingga berpotensi menimbulkan saling ketidakpercayaan (distrust).
Ia mengatakan ego sektoral antara pemerintah dengan Freeport, sengaja atau tidak, telah menimbulkan jurang komunikasi yang semakin jauh, bahkan bisa menjadi "bola" liar yang semakin sulit menemukan solusi kooperatif. Karena itu, secepatnya harus dihentikan ego sektoral tersebut.
"Buka keran komunikasi koperatif, bisa melalui mediator, dengan meletakkan semua persoalan "di atas meja" (put on the table)," ujar dia.
Untuk itu, lanjutnya, harus dibangun komunikasi introspeksi antar para pihak, baik dari pemerintah maupun dari Freeport, dengan penuh ketulusan. Dengan demikian, solusi kooperatif dapat disepakati oleh para pihak.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan ancaman Freeport yang akan membawa pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional akan membangkitkan rasa nasionalisme bagi publik Indonesia.
Masyarakat Indonesia akan terngiang dengan pelajaran sejarahnya saat VOC sebuah perusahaan Belanda yang mampu menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Freeport akan dipersepsi sama oleh publik Indonesia sebagai VOC di era digital. Padahal pemerintah sudah bijak untuk memberi jalan keluar bagi Freeport dengan menerbitkan PP 1 Tahun 2017.
Sumber: ANTARA
Bagikan
Widi Hatmoko
Berita Terkait
Klaim Pemerintah Harus Perpanjang Izin Freeport Sampai 2061
