Non-Muslim Ditolak di Bantul, Kita Harus Belajar dari Anggota Banser Kota Mojokerto

Thomas KukuhThomas Kukuh - Selasa, 02 April 2019
Non-Muslim Ditolak di Bantul, Kita Harus Belajar dari Anggota Banser Kota Mojokerto

Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari. (ist for MerahPutih.com)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih.com – Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari mengaku sangat kaget dengan kabar ditolaknya warga non-muslim untuk tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Apalagi, penolakan tersebut dikuatkan dengan legalitas berupa keputusan kepala dusun.

“Bagaimana mungkin sebuah dusun bisa mengeluarkan aturan yang justru bertentangan dengan semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika,” kata perempuan yang akrab disapa Ning Ita itu, Selasa (2/4).

Wali kota yang juga aktivis Muslimat NU itu menegaskan, kejadian di Bantul menciptakan luka yang sangat mendalam. Sebab, tindakan tersebut dengan jelas mencoreng ukhuwah wathaniyah yang merupakan perwujudan kerukunan antar umat beragama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Apa yang terjadi di Bantul adalah pukulan terhadap ideologi kebangsaan kita. Sikap intoleransi seperti ini tak boleh meluas. Harus berhenti di Bantul. Tak boleh terjadi di Kota Mojokerto, tidak di Jawa Timur,” kata Ning Ita.

Ning Ita meminta masyarakat belajar dari anggota Banser Riyanto yang juga warga Kota Mojokerto. Pada 18 tahun silam, pemuda yang tinggal di Prajurit Kulon tersebut membawa lari dan mendekap bom untuk menyelamatkan warga Kota Mojokerto dari teror bom gereja.

Ukhuwah wathoniyah mengajarkan kita untuk saling menjaga kerukunan antar umat beragama dan membudidayakan rasa saling membutuhkan. Saling menghargai. Saling menghormati perbedaan yang ada di dalam NKRI,” kata Ning Ita.

Ning Ita mengatakan, adalah hak bagi setiap warga negara untuk hidup dan mempertahankan hidup serta kehidupannya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara.

UUD 1945, kata Ning Ita, telah menjamin kehidupan beragama setiap warga negara. Dalam Pasal 28 E UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pekerjaannya, kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali.

Slamet Jumiarto
Slamet Jumiarto yang ditolak di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta karena non-Muslim

Seperti diketahui, kejadian penolakan terhadap warga non-muslim terjadi di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta. Slamet Jumiarto dan keluarganya ditolak warga ketika menyewa rumah di desa tersebut. Alasannya lantaran Slamet bergama nasrani.

Dasar dari penolakan tersebut adalah karena adanya aturan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (Pokgiat) tentang persyaratan pendatang baru.

Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 itu menyebutkan bahwa pendatang baru harus beragama Islam.

"Saya menemui Pak RT lapor memberikan fotokopi KTP, KK dan surat nikah. Karena kami ini begitu dilihat kami non-muslim, Katolik dan Kristen, maka kami ditolak sama Pak RT 08," kata Slamet kepada wartawan, Selasa (2/4).

Kepala Dusun Karet Iswanto membenarkan adanya peraturan itu. Dia juga ikut menandatangani surat tersebut itu.

Dalam aturan atau Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 memutuskan syarat-syarat bagi pendatang baru di Pedukuhan Pleret di antaranya adalah bersifat non-materi, bersifat material, dan sanksi.

#Slamet Jumiarto
Bagikan
Ditulis Oleh

Thomas Kukuh

Berita Terkait

Bagikan