Negeri Aing Maaf-Maafan


Ilustrasi maaf-maafan di negeri aing. (MP/Fikri)
INDONESIA memang bangsa pemaaf. Mungkin sekali benar. Apalagi bila konteksnya lantaran kata maaf mudah ditemukan terselip di kalimat meminta izin tiap orang di negeri aing. Mau ijin toilet, mau kasih kembalian tapi receh, bahkan 'terlanjur mencinta' saja butuh kata maaf menurut Tiara Andini.
Bukan cuma ucapan, pemberitahuan resmi melalui surat maupun papan pengumuman pun berjubel kata maaf. Dari jalan sedang diperbaiki, pelayanan terganggu, koneksi tidak stabil, hingga tamu 1X24 jam harap laper lapor.
Bila ditelusuri di KBBI, lema kata maaf memang tak sebatas meminta ampun atau penyesalan melainkan pula izin melakukan sesuatu. Di Jawa, misalnya, seorang akan mengucap "Amit, nuwun sewu. Ndherek langkung" ketika melintas di antara orang lebih tua, sebaya, atau usia jauh lebih muda.
Tujuannya, tentu bukan meminta maaf atas sebuah kesalahan terhadap masing-masing personal, melainkan meminta restu melintas lantaran telah mengganggu keasyikan pembicaraan. Maka, norma kesopanan tersebut diperlukan untuk meminta ijin sekaligus meminta maaf.
Nah, jangan-jangan sihir kebanyakan suami kepada istri berkait hobi, "lebih baik minta maaf daripada minta izin" keliru sejak dalam pikiran. Selain menimbulkan masalah baru, mengungkit masalah lama, dan berpotensi memunculkan kelahiran tuntutan turunan. Misalnya, harus beli barang lebih mahal, lebih prestisius, dan lebih dari satu produk.
Selain itu, bila dicari pembenaran lain terhadap frasa di paragraf pembuka, kemungkinan karena ekspresi maaf di masing-masing ranah budaya di Indonesia begitu beragam. Kue Apem, misalnya, pada tradisi garebeg atau sering disajikan di surau saat bulan puasa diharapkan menjadi medium permintaan maaf dan ampunan lantaran kata Apem berasal dari bahasa Arab afuan/afwan bermakna ampunan atau maaf.
Konsep maaf tidak serta-merta perkara rekonsiliasi. Maaf bisa pula menjadi medium mengelola emosi, introspeksi, berdoa, dan ijin. Maaf, barangkali, berfungsi sebagai penyelaras ketidakstabilan jagad besar dan kecil di semesta.
Kebanyakan orang merasa maaf sebagai obat mujarab bagi segala bentuk kesalahan. Merasa dosanya terampuni. Hilang segala nestapa. Meski pada kenyataannya tidak begitu-begitu amat. Bisa jadi tiap orang tetap harus melakoni buah perbuatannya, sementara maaf bertugas membuat orang tersebut menjalaninya dengan ringan.
Puasa, di samping melatih kesabaran, juga berguna bagi diri menyadari kekeliruan, kesalahan, dan perbuatan tercela di masa lalu sehingga muncul kesadaran menerima, berserah diri, kemudian memperbaiki diri dengan cara bermaaf-maafan di hari lebaran.
Mengapa saat lebaran? Kenapa tidak setiap hari? Sebab, lebaran merupakan puncak orang berbenah diri. Di hari nan fitri tersebut orang menjadi sadar jika manusia memang tak akan pernah luput dari kesalahan.
Nah, di bulan Ramadan sekaligus berjumpa pada hari raya Idul Fitri, merahputih.com mengusung tema Negeri Aing Maaf-Maafan dengan harapan setiap individu bisa memaknai maaf dan momen maaf-maafan menjadi lebih personal, intim, dan berbenah.
Bila sebelumnya ada komunikasi tidak lancar akibat unggahan di Instagram tapi lupa ditag, enggak diajak kolaborasi bareng di TikTok, belum difollback, sampai mute status. Sebaiknya, di hari Lebaran diharapkan dengan saling bermaafan suasana kembali cair, hangat, dan gembira meski bikin snapgram tetap enggak ditag.
Lagipula kenapa Lebaran enggak tiap hari karena orang capek banget minta maaf tiap hari kayak Mpok Minah di situasi komedi Bajaj Bajuri. Sedikit-sedikit minta maaf, kan orang jadi merasa bersalah. Aneh!
Jangan heran bila kata maaf berhamburan di kalangan masyarakat, orang biasa, di negeri aing karena sadar kekuatan mereka terbatas dan harus saling menguatkan apalagi di tengah pandemi COVID-19.
Kata maaf justru jadi barang langka bila diteropong di tataran pemangku kepentingan. Mereka sibuk berkilah padahal terang-terang menyalahi etika sebagai pejabat publik. Dhuh!
Tiru Inul perkara meminta maaf. Meski cuma goyang agar semua senang karena dangdut tak goyang bagai sayur tanpa garam kurang enak kurang sedap, dan bagi nan kurang berkenan melihat Inul bergoyang, jangan marah, MAAFKANLAH! (*)