Museum Taman Prasasti, Wisata Pemakaman Khas Eropa


Salah satu dari barisan nisan yang ada di Museum Taman Prasasti Jakarta. (Merahputih.com/Noer Ardiansjah)
SIAPA sangka berbagai ornamen litografi khas Eropa, bertaburan di sekitar Museum Taman Prasasti, Jakarta. Hal tersebut, terang saja memanjakan mata para pengunjung sehingga merasa berada di pemakaman luar negeri.
Situs yang sudah ada sejak tanggal 28 September 1795. Namun, pada awalnya merupakan tempat pembaringan terakhir khusus orang asing di Batavia (sekarang Jakarta). Baru pada tanggal 9 Juli 1977 diresmikan menjadi Museum Taman Prasasti.
Selain penuh akan hiasan cetakan batu, epigrafi yang melekat pada setiap nisan memberikan nilai seni dengan cita rasa yang begitu tinggi.
Adapun orang-orang asing yang dimakamkan di tanah yang memiliki luas 1,3 hektare itu, sebagian besarnya merupakan para petinggi pemerintahan Hindia Belanda, petinggi Inggris, bangsawan, saudagar Tionghoa, tentara perang Jepang.
"Di sini adalah makam orang-orang terpandang pada zaman VOC," ucap Eko Hartoyo Staf Museum Prasasti kepada Merahputih.com sambil berjalan mengelilingi museum yang berlokasi di Jalan Tanah Abang I No 1, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Meski siang itu sinar matahari tidak bersahabat, ditambah dengan gigitan nyamuk yang datang silih berganti menyerang segala anggota tubuh yang tak terlindungi, semuanya tidak terasa karena begitu takzim memandang isi pemakaman.
Makam-makam di sini, kata Eko, ada yang diambil dari Pulau Onrust dan Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta. Ihwal tersebut dikarenakan kurangnya tempat penampungan sehingga mengharuskan Pemerintah Hindia Belanda memindahkan makam-makam tersebut di Kebon Jahe Kober (sebutan makam dari masyarakat sekitar).
Selaras dengan Eko Hartoyo, pemandu Museum Taman Prasasti Eko Wahyudi yang sebelumnya tidak ada di lokasi karena penugasan di Museum Sejarah, juga mengatakan hal demikian.
"Iya, di sini adalah makam yang memiliki strata sosial tinggi pada masa VOC. Adapun total batu nisan yang ada berjumlah 1372. Itu data dari tahun 2005. Untuk yang dipasang ada sekitar 900-an makam. Masih perkiraan, ya, belum ada data resminya," timpal Yudi sambil mengatur napas karena kelelahan.\

Orang penting itu, kata Yudi, di antaranya adalah dr WF Stutterheim (pakar di bidang kepurbakalaan Indonesia), dr JL Andries Brandes (pakar arkeologi dan sastra Jawa kuno), Olivia Mariamne Raffles (istri pertama Thomas Stamford Raffles), HF Roll (pendiri Sekolah Tinggi Dokter Indonesia, Stovia), Andries Victor Michiels (panglima militer Belanda).
"Selain para petinggi itu, ada juga dua nisan orang pribumi, Nyonya Riboet dan Soe Hok Gie, dan tugu Pieter Erberveld," tambahnya.
Setelah itu, ia juga menjelaskan lebih dalam tentang Pieter Erberveld yang mendapat hukuman mati dengan cara sangat kejam oleh Belanda. Sanksi tersebut dilakukan karena Pieter dianggap sebagai pemberontak yang berbahaya. Dengan mendekati masyarakat lokal, Pieter menghasut warga untuk melawan penjajah Belanda.
"Tubuhnya ditarik oleh empat ekor kuda, dari empat arah yang berlawanan. Timur, selatan, barat, dan utara, sehingga tubuhnya berserakan di jalan. Tidak sampai di situ, kepala Pieter pun kemudian ditancapkan ke sebuah bayonet yang tajam," katanya.

Setelah ditancap bayonet, kata Yudi, lalu ditempelkan secarik kertas yang berisi, 'Ini adalah contoh bagi siapa pun yang melawan Belanda'.
"Seperti itulah cara Belanda mengambil tindakan guna menyiutkan nyali masyarakat pribumi," tandasnya. (*)