Museum Multatuli Jejak Inspirasi Antikolonial
Museum Multatuli, museum antikolonial. (Foto: MP/Suryo)
AWAL tahun 2018, Indonesia memiliki museum baru yang berada di kota Rangkasbitung, Lebak, Banten. Museum ini berisikan jejak dari rekaman sejarah antikolonial di Indonesia.
Museum ini menempati lahan seluas 2200 meter yang tadinya adalah kantor dan kediaman dari wedana Lebak. Bangunan berarsitektur zaman kolonial itu dibangun pada tahun 1920an.
Lokasinya berada di Alun-Alun Timur persis dipojokan yang membuatnya tidak akan terlewatkan bila menuju ke sini. Museum Multatuli bersebelahan dengan Perpustakaan Saidjah dan Adinda yang merupakan bagian dari novel yang ditulis oleh Multatuli.
Meskipun bernama Multatuli namun bukan berarti hanya berisikan beragam peninggalan Eduard Douwes Dekker, demikian nama asli Multatuli. Seperti yang dikatakan oleh Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, pada kesempatan simposium bertema Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli sampai Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, dua tahun lalu, bahwa kehadiran museum itu bukan untuk mengkultuskan Dekker. Namun untuk mengingat Dekker yang memperjuangkan kemanusiaan di Lebak sewaktu menjabat sebagai asisten residen.
Di dalam museum yang tidak terlalu besar itu tersimpan berbagai catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia menentang kolonial. Berawal dari kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara hingga masa perjuangan kemerdekaan dan merebut kemerdekaan itu.
Novel Max Havelaar menjadi buku inspirasi hadirnya antikolonial di Indonesia. Sukarno pun membaca buku itu. Bisa jadi sewaktu menuliskan buku itu, Eduard Douwes Dekker hanya ingin membukakan mata orang lain adanya pelanggaran kemanusiaan dan ketidakadilan di lingkungannya. Namun kemudian memberikan inspirasi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tak hanya itu buku tersebut kemudian mengarahkan pemerintah Hindia Belanda melahirkan Politik Etis. Yakni kebijakan balas budi terhadap warga yang berada dalam wilayah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membolehkan masyarakat mendapatkan pendidikan.
Seperti yang dituliskan dalam laman BBC yang dimuat dalam situs Museum Multatuli, menyebutkan bahwa pengelola museum memiliki kesulitan mendapatkan artefak Dekker. Namun berkat kerja sama dengan Multatuli Genootschap (Perhimpunan Multatuli) di Belanda untuk mendapatkan duplikasi dari berbagai dokumen-dokumen Dekker. Seperti surat-surat yang dikirimkan Dekker ke pejabat Hindia Belanda, foto-foto dan novel Max Havelaar cetakan pertama.
Masih berada dalam kompleks Museum Multatuli, pada sisi sebelah kiri terdapat patung besar Dekker tengah duduk membaca buku. Kemudian di sisinya terdapat lemari yang berisikan buku. Sedangkan di senelah kiri patung Dekker agak ke bawah terdapat patung Saidjah yang seolah mempersilahkan pengunjung menaiki undakan menuju Dekker.
Lalu di sebelah lemari buku terdapat bangku panjang dengan di sisi kanannya duduk Adinda seorang diri. Patung-patung itu dibuat oleh Dolorosa Sinaga. Area patung ini diciptakan instagramable seperti juga di area di dalam museum. Masuk ke dalam museum disambut dengan citra Dekker yang dibuat dalam mosaik dan prasasti peremian museum itu oleh Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya.
Berlanjut pada ruangan museum berikutnya pengunjung dijabarkan penyebab kehadiran bangsa Eropa ke Nusantara, yakni rempah-rempah. Kemudian dokumen-dokumen tentang Eduard Douwes Dekker, termasuk surat-surat lainnya yang dimiliki oleh tokoh nasional. Tak ketinggalan pula informasi mengenai keberadaan wilayah Lebak. Pun demikian beberapa tokoh-tokoh yang erat kaitannya dengan Rangkasbitung. Termasuk WS. Rendra yang pernah membuat puisi Orang Orang Rangkasbitung. (psr)