Mitos Pernikahan Sunda-Jawa Dampak Perang Bubat?


Prapto Yuwono Dosen Universitas Indonesia menilai mitos pernikahan Sunda-Jawa sudah tak relevan lagi (Foto: MP/Noer Ardiansyah)
MerahPutih Budaya - Antara kejadian masa lalu dengan masa kini oleh sebagian masyarakat Indonesia masih kuat dikaitkan bahkan diyakini akan kesakralannya. Seperti peristiwa Perang Bubat yang berdampak pada larangan pernikahan antara suku Sunda dan Jawa.
Hal tersebut, dipertegas oleh Prapto Yuwono selaku Dosen Kebudayaan Jawa Universitas Indonesia bahwa mitos larangan pernikahan sangat irasional dan tidak relevan digunakan lagi.
"Menurut saya, sudah tidak relevan lagi mitos tersebut. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada masa lalu," ucap Prapto Yuwono di Gedung II Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Senin (14/3).
Lebih lanjut ia katakan karya sastra yang menceritakan tentang Perang Bubat (Kidung Sundayana) sendiri, hingga saat ini belum dapat dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah.
Adapun kisah Perang Bubat yang ditulis dalam Kidung Sundayana berawal dari niatan Raja Majapahit, Hayam Wuruk mencari seorang permaisuri untuk ia nikahi. Beberapa lukisan wanita cantik dari seluruh pelosok negeri ternyata belum bisa menggoyahkan hati Penguasa Kerajaan Majapahit ketika itu.
Namun, ketika Prabu Hayam Wuruk melihat lukisam seorang dara yang cantik tiada tara, Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Prabu Linggabuana dari Kerajaan Sunda, hatinya pun goyah dan menyampaikan niatannya untuk menikahi sang putri. Adapun, nama pelukis tersebut ialah Sungging Prabangkara.
Ilustrasi Perang Bubat (Foto: diorama sejarah Indonesia)
Masih menurut Kidung Sundayana, selain mempersunting Dyah Pitaloka, Mahapatih Kerajaan Majapahit yakni Gajah Mada ternyata memiliki hasrat untuk menguasai Kerajaan Sunda demi memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum masa Prabu Hayam Wuruk naik tahta.
Agar bisa melegitimasi kekuasaan Kerajaan Majapahit, gagasan yang disampaikan oleh Gajah Mada pun mendapat restu dari Prabu Hayam Wuruk meski masih diselimuti rasa bimbang dan dilema.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada kemudian membuat usulan bahwa kedatangan rombongan Sunda di pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Ketika mengetahui maksud dan tujuan dari pernikahan tersebut merupakan penaklukan Majapahit terhadap Kerajaan Sunda, sontak menuai protes dari pihak Sunda termasuk sang raja, Prabu Linggabuana.
Tak ayal, perselisihan terjadi antara utusan Linggabuana dengan Mahapatih Gajah Mada. Di samping ihwal tersebut, ternyata Gajah Mada sudah lebih dulu mengerahkan pasukan inti, Pasukan Bhayangkara di Tanah Bubat dan segera mengancam Prabu Linggabuana untuk mengakui kebesaran Kerajaan Majapahit.
Demi menjaga kehormatan Sunda, Raja Linggabuana pun akhirnya menolak keinginan Majapahit. Sontak, terjadilah perang besar yang melibatkan seluruh pasukan Majapahit dan Kerajaan Sunda yang ketika itu, jumlah dari pasukan Prabu Linggabuana jauh lebih sedikit dibanding pasukan Majapahit.
Peperangan tersebut, konon menewaskan Prabu Linggabuana dan semua menteri serta pasukannya di Tanah Bubat. Untuk menjaga harga diri sebagai seorang purti raja, Dyah Pitaloka Citraresmi pun yang saat ini dirundung duka yang begitu mendalam akhirnya memutuskan untuk belapati (bunuh diri).
Kematian Dyah Pitaloka, tak ayal membuat Prabu Hayam Wuruk patah hati sehingga meratapi kesedihan dalam-dalam peristiwa tersebut. Dampak dari kematian Dyah Pitaloka akibat Perang Bubat membuat hubingan Prabu Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada menjadi renggang.
Gajah Mada menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk.
Gajah Mada diduga punya peran penting dalam Perang Bubat (Foto: diaroma sejarah Indonesia)
Dalam peristiwa Bubat, yang tersisa dari Kerajaan Sunda hanyalah Pangeran Niskalawastu Kancana, adik kandung Dyah Pitaloka Citraresmi, karena pada saat keberangkatan menuju Majapahit, ia tetap tinggal di Istana Kawali.
Dikarenakan beliau merupakan satu-satunya keturunan dari Prabu Linggabuana, sontak diangkatlah dirinya menjadi raja dengan nama Prabu Niskalawastu Kancana.
Setelah besar dan menjadi raja, salah satu keputusannya adalah memutuskan hubungan dengan Majapahit. Dampak lainnya adalah, pemberlakukan peraturan larangan 'estri ti luaran' (memiliki istri dari luar) yang ditujukan terhadap Kerajaan Majapahit.
Kisah demikian yang terus dipakai oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa maupun Sunda. Padahal, kata Prapto, tidak ada hal-hal secara arkeologis yang mendukung adanya Perang Bubat.
"Saya kira, yang harus kita tekankan pertama bahwa ini (Kidung Sundayana) hanyalah sebuah mitos. Sedangkan mitos itu sendiri adalah suatu kepercayaan masyarakat tradisional yang bahkan disucikan dan disakralkan. Selain daripada itu, mitos bisa merupakan hasil rekayasa pada suatu kehidupan masa lampau demi kepentingan politik atau kekuasaan," tambahnya.(ard)
BACA JUGA:
- Jawara Banten dan Pergeseran Budaya
- Baduy, Suku Adat Sunda di Selatan Banten yang Penuh Misteri
- Banten Targetkan 15 Juta Kunjungan Wisatawan
- Melacak Jejak Kesultanan Banten di Museum Nasional Banten
- Pantun Bambu, Musik Tradisional Banten yang Terancam Punah