Mitigasi Kebakaran Hutan saat Musim Kemarau, BMKG Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatra dan Kalimantan

Dwi AstariniDwi Astarini - Senin, 22 Juli 2024
Mitigasi Kebakaran Hutan saat Musim Kemarau, BMKG Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatra dan Kalimantan

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.(foto: dok BMKG)

Ukuran:
14
Font:
Audio:

MERAHPUTIH.COM - ANCAMAN kebakaran hutan berpotensi terjadi saat musim kemarau mendatang. Beberapa wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan meliputi Sumatra dan Kalimantan.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggencarkan operasi modifikasi cuaca (OMC) untuk mengisi kubah air di lahan gambut, yang menjadi sumber utama kebakaran hutan lahan (karhutla).

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, OMC dilakukan untuk upaya mitigasi ancaman kebakaran hutan yang bisa memicu bencana lainnya.

OMC dilakukan dengan mengisi kubah air gambut. “Berdasarkan data Pemantau Air Lahan Gambut (Sipalaga), ambang batas ketinggian air dalam tanah lahan gambut tidak boleh di bawah 40 cm, yang menandakan status rawan kebakaran," kata Dwikorita di Jakarta, dikutip Senin (22/7).

OMC yang dilakukan pada masa transisi musim hujan ke musim kemarau terlihat dengan jelas perbandingan efektivitasnya. Titik api yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya water bombing dan terrestrial dalam mengatasi karhutla.

“Saat ini, pemerintah memang memfokuskan OMC untuk menanggulangi karhutla di Sumatra dan Kalimantan,” jelas Dwikorita.

Baca juga:

Jurus Menko Hadi Antisipasi El Nino Picu Bencana Karhutla

Waktu pada musim transisi hujan ke musim kemarau sengaja dipilih karena pada dasarnya OMC sangat bergantung pada keberadaan awan hujan. Akan sulit melakukan OMC jika baru dilaksanakan pada musim kemarau atau pada saat karhutla sudah terjadi. Hal itu disebabkan keberadaan awan yang sulit ditemukan.

Oleh karena itu, air hujan yang diturunkan pada musim transisi diupayakan untuk disimpan ke dalam kubah gambut dengan mengisi embung-embung yang berada di daerah rawan karhutla. “Nantinya, jika musim kemarau dan karhutla terjadi, cadangan air ini juga bisa digunakan tim Manggala yang bekerja secara terestrial,” jelas Dwikorita.

Dwikorita menjelaskan efektivitas pembasahan lahan gambut dalam memitigasi karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, telah terjadi keterlambatan lonjakan titik api di Sumatra dan Kalimantan.

Provinsi Riau menjadi salah satu lokasi rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar. Pada 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau mencapai 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019, dan menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare.

"Hotspot di Provinsi Riau berkurang 93,9 persen pada 2023 jika dibandingkan dengan 2019," jelas Dwikorita. Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Biasanya hotspot naik pada Agustus, tapi kini melambat menjadi September bahkan Oktober.

Sebagai contoh, di Kalimantan Tengah pada 2009, luasan area yang terbakar yaitu 247,942 hektare, 583, 833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.

Penurunan itu sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia yang dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang daripada biasanya. Hal itu mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan karhutla.

“Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat," tutup Dwikorita.(knu)

Baca juga:

3 Daerah di Riau Tetapkan Status Darurat Karhutla

Bagikan
Bagikan