Merayakan "Travel Diary" Pengelana Mancanegara Masa Silam Tentang Nusantara


LELAKI tinggi besar berambut terurai sebahu, dengan berewok dan kumis baplang memutih, langsung jadi sorotan setiba di Bali, 30 Agustus 1927. Ia bersama rekan seperjalanan asal India lainnya, termasuk linguis Suniti Kumar Chatterji, langsung diajak seorang pendamping lokal menumpang mobil menuju istana Karangasem.
Selama di perjalanan, tamu agung dan pendampingnya tak saling berbincang. Keduanya sama-sama tak saling memahami bahasa masing-masing.
Namun, ketika rombongan melewati pinggir lautan, orang Bali pendampingnya mendadak berteriak "Samudra!" seraya menunjuk lautan. Lelaki berambut putih di sebelahnya, seorang penyair kenamaan India, Rabindranath Tagore, terhenyak mendapati kesamaan kata pada bahasa Sanskerta, Bali dan India. Samudra, sama-sama bermakna lautan.
"Tagore meyakini terdapat suatu kesinambungan artistik antara tradisi dan agama di India dengan Jawa dan Bali," kata Romo Mudji Sutrisno SJ, pada pidato pembukaan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) ke-7, pada Kamis, 22 November 2018, di Borobudur Ballroom Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta.
Selama dua minggu berada di Bali, menurut Romo Mudji, Tagore menyaksikan beragam upacara, mulai ritual tantra, ngaben, melihat tari-tarian, dan menikmati denting rancak gamelan Bali membuatnya dirinya merasakan semua itu seperti budaya India nan telah lama hilang. "Bagi Tagore perjalanannya ke Bali dan Jawa adalah perjalanan ziarah," kata rohaniwan kelahiran Surakarta, 12 Agustus 1954.
Dari perjalanannya di Jawa dan Bali, Tagore menulis beberapa surat nan kemudian dilabeli judul Java-Jatir Patra (Letter From Traveler to Java). Surat-surat itu pun menjadi perhatian khusus Romo Mudji ketika bertandang ke Rabindra Bhavan Museum, di areal Uttarayana, Shantiniketan, India, sebagai riset awal menulis pidatonya untuk BWCF 2018.
Di mansion atau rumah-rumah tempat Tagore pernah tinggal, Romo Mudji sangat menikmati memorabilia Tagore, seperti foto, cinderamata atau buah tangan perjalanan keliling dunia, sampai surat-surat tulisan tangan Tagore. "Mengelilingi museum dari sudut ke sudut kita seperti dibawa perjalanan dan pengembaraan rohani Tagore" katanya.
Tagore, lanjut Guru Besar Filsafat STF Driyarkara tersebut, hanyalah sekian dari ratusan para pelancong atau musafir nan pernah singgah di Nusantara dan menuliskan kesannya ke dalam buku harian, atau surat-surat. Membaca kembali catatan "Travel Diary" tersebut memberi banyak informasi baru tentang sejarah. "Catatan pelawat asing itu tak pernah usang karena melentikkan imajinasi tentang kemungkinan-kemungkinan saling silang peristiwa di masa lalu dan pengaruhnya sehingga menjadikan kita seperti sekarang" kata Romo Mudji.
Gelaran BWCF tahun 2018 mengusung tema Travelling & Diary dengan mengulas catatan pelancong, peziarah, petapa kelana, dan pengembara mancanegara saat mengujungi Nusantara. Forum tersebut mengulas catatan perjalanan, mulai kumpulan surat-surat I-Tsing (Yi Jing), seorang pengelana asal Tiongkok, pada abad ke-7 berjudul Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan), catatan Ma Huan, seorang muslim asal Zhejjiang bertindak sebagai juru tulis pada muhibah Cheng Ho, laporan pandangan mata Tome Pires (Suma Oriental), catatan harian perjalanan Antonio Pigafetta (The Journal of Antonio Pigaffeta), catatan Ibnu Batuta, Laporan Alfred Russell Wallace, buku harian VS Naipaul, dan beberapa diary para pengelana lainnya.
Maka tak heran, tema BWCF ke-7 tentang Travelling & Diary, menurut Seno Joko Suyono, salah satu tim kurator BWCF, ditujukan untuk merayakan catatan harian para peziarah, pelancong, pelawat, maupun pengembara mancanegara di masa lalu nan singgah ke Nusantara. "BWCF merupakan forum dengan tujuan merawat khazanah literasi klasik Nusantara secara populer," Kata Seno.
Seno berharap BWCF menjadi forum bagi peneliti, pendidik, guru, mahasiswa, aktifis, sastrawan, dan penggiat kebudayaan agar terangsang dan terinspirasi melahirkan karya-karya kreatif. (*)