Menyibak Propaganda Anti-Belanda The History of Java


Tiga jilid The History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles.
Sayid Zayn alias Tengku Pangeran Siak alias Pangeran Sukma Dilaga mengemban misi khusus untuk memberikan surat Thomas Stamford Raffles, Agen Gubernur Jendral untuk Negara-Negara Melayu, bertempat di Malaka, kepada seluruh raja-raja Jawa.
Sayid Zayn berlabuh di Indramayu pada 26 April 1811, kemudian melanjutkan perjalanan darat menuju Cirebon. Di desa Singaraja, Zayn bertemu dan memberikan surat bercap merah bertulis ‘Maharaja Gubernur Jendral di Benggala’ kepada Sultan Sepuh dan Anom.
Di dalam secarik kertas tersebut, Raffles meminta Sultan Cirebon, baik Sepuh mapun Anom, agar bersedia menjadi ‘Sahabat Inggris’. Dia membubuhkan cerita perlakuan buruk Republik Bataf, Belanda-Perancis, di bawah HW Daendels terhadap kedua Sultan Cirebon sebagai pembanding.
“Sudah dapat kabar dari Kurnur Jenral (Gubernur Jendral) di Benggala, ada banyak susah sekali raja-raja di dalam tanah Jawa daripada hukum Jendral Holandis di dalam tanah Jawa dengan keras tiada berpatutan dan mengubah daripada adat raja-raja,” tulis Raffles, dinukil Hazmirullah, “Raffles dan Rencana Invasi Terhadap Jawa 1811, Surat Rayuan untuk Raja Melayu”.
Tujuan Raffles mengulas keburukan Belanda-Perancis agar tercipta kondisi buruk antara penguasa lokal dengan Belanda-Perancis, kemudian Inggris bisa memanfaatkan kemelut untuk masuk menjadi penguasa baru. “Kompeni Inggris ada pikir mau buang sekali orang Holandis dengan orang Perangsis (Perancis)”.
Tengku Pangeran Siak tentu tak sendiri. Utusan serupa, membawa pesan senada, telah menyebar ke seluruh Nusantara.
Selain memantik simpati, cerita miring Belanda-Perancis di Nusantara, berfungsi untuk menunjukan keluhuran peradaban dan intelektual Inggris. Raffles pun merasa perlu menggunakan kisah buruk Belanda-Perancis pada karya monumental The History of Java.
Tiga jilid The History of Java (1817) tak sekadar berisi kumpulan menarik sejarah, antropologi, satu wacana mengenai kesusastraan Jawa, daftar candi, namun juga berisi desas-desus, serta “sejumput propaganda anti Belanda, dan seruan pembenaran diri paling frustasi,” tulis Tim Hannigan, Raffles dan Invasi ke Jawa.
Raffles, sambung Hannigan, sangat ingin menggambarkan pendahulu mereka di Jawa, Belanda, sebagai orang barbar tak berkebudayaan dan tak peduli sedikit pun pada kerumitan budaya dan kemegahan sejarah Jawa.
Dia pula ingin menunjukan kepada para pembaca publikasinya mengenai Jawa, betapa Belanda selalu menganggap buruk orang Jawa, sementara Inggris sebaliknya.
“Sejauh ini saya memberikan pandangan orang (Jawa) setia, saat mereka menampakan diri di hadapanku; tapi merasa begitu menggelikan melihat pembaca (Belanda) memandang karakter orang Jawa,” tulis Raffles, The History of Java.
Di dalam karyanya, bagian ‘Karakter Orang Jawa’, Raffles menggunakan catatan resmi mengenai distrik Jepara pada 1812, berisi kesan seorang administartor Belanda, Residen Dornick, untuk menilai seluruh pandang besar orang Belanda terhadap orang Jawa. Di catatan tersebut, Dornick mengurai perbedaan karakter orang Jawa berdasarkan tingkat ekonomi, namun “pada umumnya orang Jawa sangat malas,” tulisnya.
Sementara Belanda, menurut Raffles, sebaliknya tidak percaya diri. Semua jendela dan pintu mereka kunci untuk mencegah penduduk asli, pengkhianat (seperti sebutan mereka untuk kaum Bumiputera). Mereka pun tidak pernah bergerak sejauh 5 mil di luar negeri tanpa membawa pistol dan pedang.
“Apa mau diharapkan dari pemerintah, dengan pendapatan utama berupa dorongan kebiasaan buruk, seperti ladang judi, sabung ayam, dan toko opium?”.
Jauh bebeda dengan Inggris, lanjutnya, setelah dua kebiasaan di atas dihapus Inggris, dan pemerintah daerah melakukan semua kekuatan untuk mencegah terjadinya kebiasaan madat, mengisap opium, tampak terjadi perbaikan moral di kalangan masyarakat kelas bawah.
Raffles masih perlu menegasikan pendapat Residen Dornick, dengan menampilkan uraian mengenai kebiasaan masyarakat Jawa umumnya petani, bangun pukul 06.30 kemudian bertani menggunakan sapi untuk membajak sawah hingga pukul 10.00, lalu kembali ke rumah, mandi, dan membuat diri mereka bugar dengan makanan.
“Saya bisa memberikan kesaksian tentang keceriaan, kepuasaan mereka, dan rasa humor, karena telah mengunjungi desa mereka di semua musim,” tulis Raffles.
Sang Letnan Gubernur Jawa sangat ingin menyangkal pandangan Belanda menganggap orang Jawa pemalas dan tidak sensitif.
“Jika penduduk pribumi terkadang sedikit bodoh”, kata Raffles, “maka itu bukan disebabkan rendahnya kualitas ras tersebut, melainkan akibat pemerintahan buruk raja lalim pribumi dan VOC secara berabad-abad”.
Meski The History of Java berisi banyak klaim perlakuan buruk Belanda terhadap jawa,serta tidak memiliki minat akan sejarah dan budaya Jawa, Raffles justru menggunakan catatan serta naskah milik dan hasil pengerjaan orang Belanda di perpustakaan lantai bawah istana Buitenzorg, maka “terjemahan di catatan kaki hanyalah terjemahan dari terjemahan,” pungkas Hannigan.