Menjebak Diponegoro Lewat Undangan Damai Ramah-Tamah Hari Lebaran


Lukisan Sudjojono tentang Peran Jawa. (Wikipedia)
PANGERAN Diponegoro akhirnya menggenapi undangan 'damai' Letnan Gubernur Jendral HM de Kock. Semula, Diponegoro enggan menjalin pembicaraan dengan seterunya lantaran ingin khusyuk menjalankan ibadah puasa Ramadan 1245 H.
Namun, setelah berpuasa sebulan penuh, pangeran bergelar Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatur Rasul ing Tanah Jawa tersebut sudi bersemuka dengan de Kock.
Tepat pukul delapan pagi, 28 Maret 1830, hari kedua Idul Fitri, Diponegoro menyambangi wisma residen Kedu bahkan tanpa baju kebesaran.
"Seolah akan berjalan-jalan saja," tulisanya dalam teks autobiografinya Babad Diponegoro dikutip Peter Carey pada Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855.
Setiba di wisma, Diponegoro disambut Residen Valck kemudian dipertemukan dengan de Kock. Ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, bersama komandan pengawalnya ikut masuk. Mereka berhadapan dengan para perwira tinggi Belanda.

Kedua pimpinan seteru Perang Jawa tersebut akhirnya bersua berdekat-dekatan. "Saya hanya sebentar menemuimu untuk kunjungan ramah-tamah, sebagaimana adat Jawa setelah bulan puasa," kata Diponegoro.
HM de Cock meminta Diponegoro tak perlu pulang ke Matesih dan tetap berada di karesidenan.
"Mengapa saya tidak diizinkan pulang?".
"Alasan saya menahanmu karena ingin membuat semua persoalan di antara kita menjadi jelas hari ini," jawab de Kock pada catatan hariannya pada De Zeevaarder.
"Ada masalah apa jenderal? Sesungguhnya, saya merasa tidak masalah. Saya juga tidak menaruh benci pada siapa pun".
Di tengah kekikukan itu, Valck coba menjelaskan tentang rencana pemerintah Belanda terhadap Sang Pangeran usai Perang Jawa.
Merasa perbincangan di luar topik, komandan pengawalnya menyela pembicaraan. "Urusan politik berada jauh di luar keprihatinan Sang Pangeran dan sebaiknya dibicarakan lain waktu," kata Mertonegoro.

"Tidak!" jawab de Kock. "Tidak dimungkinkan lagi. Terserah Pangeran setuju atau tidak, saya ingin menuntaskan segala perkara politik itu hari ini juga!".
Ramah-tamah lebaran itu berubah jadi siasat membekuk Pangeran Diponegoro. Ia tak lagi bisa mengelak. Pasukan militer Belanda pun telah mengambil ancang-ancang di luar.
"Saya tidak takut mati! Dalam semua pertempuran, saya selalu luput dari kematian," kata Diponegoro. "Sekarang tak ada lagi tersisa kecuali dibunuh dan saya tidak bermaksud menghindarinya."
Diponegoro memilih mati ketimbang jadi tahanan negara.
Saat perbincangan tersebut berlangsung, Mayor AV Michiels memandu pasukan gerak cepat ke-11 dan kekuatan garnisun Du Perron merangsek perkemahan Diponegoro di Matesih lalu melucuti 800 pasukan Sang Pangeran.
Di wisma karesidenan, de Kock meminta Sang Pangeran tetap tenang kemudian mengikuti anjuran pemerintah.

"Jika ingin hidup sederhana sebagai pangeran bersama keluarga dengan penghasilan cukup di wilayah pemerintah, atau jika ingin pergi haji ke Mekkah, Gubernur Jenderal mungkin masih bisa mengabulkan," kata de Kock
Diponegoro meminta agar tetap menjadi sultan dan kepala agama Islam di Jawa.
Permintaan itu tidak secara tegas dikabulkan dengan Kock. Ia justru meminta Diponegoro bersiap berangkat menunggang kuda dengan kawalan dua opsir ditunjuk dan dibolehkan memboyong anak serta istri.
Dengan nada tinggi, Diponegoro bertanya kepada pengawal dan anak-anaknya apakah pantas diperlakukan seperti ini? Kepala mereka tetap menunduk dan tak keluar satu kata pun.
Begitu keluar dari wisma, Diponegoro menjalani status sebagai tahanan negara, berpindah dari Semarang menuju Batavia, kemudian menjadi orang buangan di Manado dan Makassar. (*)