Menghidupkan Kembali Monumen Orde Baru, Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI


Poster Film Pengkhianatan G30SPKI. (PPFN)
SEPTEMBER menjadi bulan mahapenting bagi setidaknya sejarawan dadakan. Mereka seakan fasih berbicara Peristiwa 1965. Membuka perdebatan sengit di dunia maya. Menyajikan segudang argumen dan narasi besar namun amat sepi mengetengahkan sumber sejarah autoritatif.
Di masa lalu, penguasa Orde Baru pun menjadi tergila-gila terhadap sejarah seputar Peristiwa 1965. Ia menginisiasi penggarapan film kolosal Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI menggunakan metode penelitian sejarah, kecuali kritik sumber.
Tulang punggung cerita ditulis berdasarkan hasil penelitian Sejarawan kenamaan Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto, bersama Amrin Imran, Rokhmani Santoso, Sutopo dan Suranto Sutanto.
Tak cuma tim peneliti, para pemain pun bahkan harus turun ke lapangan meriset kebiasan, cara bicara, dan gestur tokoh nan sedianya akan diperankan.

Syubah Asa, pemeran DN Aidit, Ketua CC PKI, sampai harus menemui salah seorang sastrawan nan pernah berkali-kali menjumpai "Kawan Ketua".
Semalam suntuk, Syubah berbincang panjang dengan Amarzan Ismail Hamid di Wisma Tempo, Sirnagalih, Megamendung. “Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit,” keluh Syubah dikutip Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara.
Syubah melalui Amarzan, hanya beroleh gambaran Aidit serupa para tokoh-tokoh komunis dunia, semisal Mao Zedong dan Ho Chi Minh. Tak ada gambaran rinci.
“Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu,” ungkapnya. Meski begitu, film garapan sutradara Arifin C Noer tersebut tetap beredar dan disaksikan beribu pasang mata.
Sebelum beredar luas, film berbiaya 800 juta rupiah tersebut sempat dibawa Gufron Dwipayana, Direktur Pusat Produksi Perfilman Negara (PPFN) ke hadapan Presiden Soeharto.
Soeharto meminta film tersebut diputar pada sidang kabinet. "The Smilling General" ternyata tersenyum puas. Ia pun membicarakan film monumental tersebut di hadapan kabinet.

Dipo, menurut Katinka van Heeren pada Contemporary Indonesian Film: Spirits of Freedom and Ghosts From The Past, mendukung saran Soeharto agar film itu ditonton para pejabat dan angkatan bersenjata juga generasi muda di tahun 1984.
"Generasi ini saat G30S/PKI meletus masih bayi, sehingga perlu memahami kejadian saat itu," kata Dipo dikutip van Heeren.
Tak sebatas ditahap pembuatan, pemerintah berpikir keras tentang pendistribusian film nan penggarapannya memakan tempo dua tahun. PPFN memilih jalur non komersial. Artinya, film tersebut tak diputar di bioskop-bioskop layaknya film-film lainnya.
“Mereka tidak ingin mengambil resiko kegagalan dengan memakai jalur komersial," tulis Krishna Sen dan David T. Hill dalam Media, Culture and Politics in Indonesia.
Sebagai ganti, menurut T Hill, pemerintah mewajibkan anak sekolah dan pegawai pemerintahan menonton film tersebut tiap tanggal 30 September.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI alhasil menjadi Monumen Orde Baru paling dekat dan lekat di masyarakat.
Berpuluh tahun masyarakat disuruh menonton film tersebut hingga akhirnya pada usai Reformasi 1998, Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah, tak lagi mewajibkan film itu diputar di sekolah dan kantor-kantor pemerintahan.
Film bernuansa pengkultusan tokoh,seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, Serangan Fajar, menurutnya, sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
“Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI,” ujar Yunus seperti dikutip harian Kompas 24 September 1998.
Kini, 20 tahun usai Reformasi, wacana pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI di televisi swasata berskala nasional kembali menguat. (*)