Lewat Sastra Meraih Pengakuan bagi Kartini


Amalia Putri Astari membawa sosok Kartini diakui di Belanda. (foto: istimewa)
"APA kontribusi nyatamu untuk kemajuan Indonesia?" Pertanyaan dari salah seorang pewawancara program beasiswa yang diadakan pemerintah Indonesia itu terus membayangi Amalia Putri Astari empat tahun lalu. Pertanyaan itu membuatnya kembali memikirkan tujuannya datang ke Belanda.
Itu pula yang mendorongnya untuk mengajukan proposal penelitian ke salah satu institut penelitian negara-negara jajahan Belanda, Kononklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV) pada Oktober 2016. Saat itu, masih tercatat sebagai mahasiswi Universitas Leiden. "Waktu itu, aku mengajukan proposal ke mereka modal nekat. Aku tanya apakah pihak KITLV mau menjadi wadahku untuk mengerjakan proyek tentang RA Kartini? Ternyata respons mereka positif banget," kenangnya.
BACA JUGA:
Dari kenekatannya tersebut terungkap fakta bahwa orang Belanda tertarik dengan sejarah Indonesia. Sayangnya, kemampuan berbahasa Indonesia mereka minim.
"Di situlah aku bertugas menjembatani barrier bahasa tersebut," tuturnya. Siapa sangka penelitian perempuan yang kerap disapa Mia tersebut disambut dengan sangat baik oleh masyarakat Belanda. Ia berkesempatan untuk tampil di seminar Twee Kanten van het Verhaal (Dua Sisi Sebuah Kisah) yang diadakan November 2016 di Felix Meritis, Amsterdam. Seminar tersebut merupakan seminar yang cukup bergengsi di Belanda. Salah seorang sosok yang pernah tampil di seminar tersebut ialah penulis terkenal Belanda, Karin Amatmoekrim.
"Aku pikir seminar seperti ini paling 50 orang yang nonton. Tiba-tiba dikabari pihak penyelenggara bahwa tiketnya yang berjumlah 100 sold out," ucapnya tidak percaya. Pihak penyelenggara bahkan berniat menambah 100 tiket lagi.

Pada seminar itu, Mia bercerita banyak mengenai tulisan-tulisan RA Kartini yang direspons dengan sangat luar biasa oleh teman-temannya yang merupakan orang Belanda. "Kartini menulis dalam bahasa Belanda, jadi bisa dikatakan bahwa karya-karyanya merupakan bagian dari sastra Belanda. Sayangnya, tidak banyak orang Belanda yang mengetahui sosok Kartini," tuturnya.
Seminar tersebut membuat kiprah Mia di dunia sastra Belanda melejit. Tawaran demi tawaran didapatkan Mia setelah seminar tersebut sukses digelar. Salah satu tawaran paling menggiurkan yang ia dapatkan ialah menjadi narasumber salah satu radio edukasi di Belanda, Van Gisteren. "Belum banyak yang tahu tentang Kartini. Van Gisteren yang menginisiasi akses ke Kartini," jelasnya.
Dengan dukungan dari Van Gisteren, perempuan kelahiran 29 Juli 1993 tersebut berhasil memasukkan nama RA Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan Belanda. Nama Kartini disandingkan dengan tokoh emansipasi perempuan Belanda lainnya, Aletta Jacob. Selain masuk daftar tokoh emansipasi perempuan Belanda, sosok Kartini pun kini menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah Belanda.
Sejak saat itu, animo masyarakat Belanda terhadap sosok Kartini pun semakin besar. Seminar tentangnya pun semakin sering diselenggarakan di Belanda. Mia kembali dipercaya untuk menjadi pembicara tentang profil dan karya-karya Kartini. Bahkan meski saat ini dia sudah berada di Jerman untuk melanjutkan studi S-3, masyarakat Belanda masih menginginkannya untuk mengisi seminar tentang Kartini.

Salah satu seminar yang dihadirinya yakni Grote Denkers: Raden Adjeng Kartini yang diselenggarakan oleh De Balie. Sayangnya, kendala jarak Belanda-Jerman dan adanya wabah corona membuat Mia tidak bisa bertatap muka secara langsung dengan para hadirin. Ia hanya memanfaatkan platform Zoom untuk membicarakan Kartini.
"Belum banyak penelitian tentang Kartini. Beliau juga kan hidupnya singkat. Satu-satunya akses hanya dari tulisan-tulisannya untuk teman-teman Belandanya," ucapnya.
Selain berhasil membawa nama RA Kartini sebagai salah satu tokoh emansipasi wanita Belanda, Mia juga memberikan perspektif baru bagi masyarakat Belanda yang mempelajari sejarah Indonesia.
"Di buku-buku sastra Hindia Belanda, orang Indonesia itu digambarkan sebagai bangsa primitif yang sebangsa dengan kera. Aku pasti akan komentar kayaknya tumpul deh kalau di era modern bangsa kami masih disamakan dengan kera," pungkasnya.
Mia menambahkan, ia merasa miris akan sikap bangsa Indonesia yang tak seantusias orang Belanda dalam mempelajari sejarahnya. "Miris karena ternyata orang Belanda itu lebih antusias dan tahu dengan detail sejarah kita, mereka bahkan tahu kapan kapal Belanda tiba di Hindia Belanda yang bahkan aku pun belum tentu tahu," ungkapnya.(Avia)