Kepergian Laila Sari dan Sepenggal Kenangan Kampung Artis Tangkiwood


Taman Hiburan Prinsen Park. (Tarzan Foto)
BERITA kepergian artis tiga jaman Laila Sari langsung berseliweran di grup-grup aplikasi pesan Whatsapp. Seorang anggota grup mengirim pesan papan klip atau broadcast, berisi “Berita duka. Artis Laila Sari meninggal pukul 19.50 WIB, pada usia 82 tahun, di kediamannya, Jalan Badila I, No.1 Rt 003 Rw 04, Kelurahan Tangki, Mangga Besar, Jakarta Barat”.
“Inalillahi wainalilahi rojiun,” sahut para anggota lainnya.
Para aggota grup juga masyarakat luas mengenal sosok Laila Sari identik dengan lagu I Cant Stop Loving You. Meski lagu itu lebih dulu kondang dinyanyikan Ray Charles, justru Laila Sari sangat melekat di hati masyarakat karena tampil begitu energik dan vokal prima khas serak selaik penyanyi rock walau tak lagi muda.
Gemerlap dan hingar bingar pentas ternyata berbanding terbalik dengan keseharian Mpok Laila, sapaan akrab Laila Sari. Dia tinggal di permukiman padat. Tak ada lahan kosong. Jalanannya pun sangat sempit. Motor harus bergantian lewat. Lingkungannya pun kumuh. Got-got tergenang air hitam pekat. Bila hujan turun, banjir seketika melanda.
Rumah Mpok Laila pun tak besar. Dia tinggal bersama anak angkatnya, cucu, dan cicit. Atapnya rumahnya banyak bolong. Rumah dan lingkungannya jauh dari kata mentereng, meski disebut kampung artis.
Kawasan sekitar rumah Mpok Laila memang dikenal sebagai kampung artis, Tangkiwood. Mungkin nama tersebut sekarang tak begitu banyak orang tahu. Namun, di tahun 1950-an, Tangkiwood begitu kondang lantaran menjadi tempat tinggal para artis, sutradara, pemain tonil, dan pemain film, juga para musikus.
“Kalau Amerika punya Hollywood, kita punya Tangkiwood,” ujar komposer sekaligus pemain film ternama Bing Slamet, dikutip Alwi Shahab pada Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe.
Bing Slamet, menurut Alwi Shahab, secara tidak sengaja, dengan bergurau, menamai kampung Tangkiwood. Meski iseng, penamaan kampung itu memang secara areal permukiman sangat cocok karena dihuni sekira 50 artis.
“Pada saat itu di kampung tersebut bermukim paling sedikit 50 keluarga, yang terdiri dari para artis, penyanyi, pemusik, pelawak, dramawan, dan senima,” kenang Laila Sari dikutip Alwi Shahab.
Nama-nama sohor seperti Raden Muchtar dan istrinya, Sukarsih, Astaman, Pak Bisu, Bu Supi, Jafar Usman, Adhie AS, Amang Rahman, Salim Bahasuan, Tan Tjeng Bok, Fifi Young, Said Effendi penggubah lagu Semalam di Malaysia, Aminah Candrakasih, Wolly Sutinah (Mak Wok), Rukiah dan Kartolo, orang tua Rahmat Kartolo, M Sardi dan Mak Bibah, orang tua Idris Sardi, pernah tinggal di Tangkiwood.
Keberadaan para artis di Tangkiwood memang tak bisa lepas dari kehadiran Taman Hiburan Lokasari, atau sampai tahun 1970 di sebut Prinsen Park. Di taman hiburan itulah mereka sehari-hari berpentas. Entah bermain sandiwara, berakrobat, atau menjadi pemain musik. “Pada tahun 1930-an, oleh pemilik taman hiburan itu, mereka dimukimkan di kelurahan Tangki,” ungkap Alwi Shahab.
Gambaran kumuh permukiman di Tangkiwood masa kini pun sejatinya tak begitu jauh berbeda kondisinya ketika areal itu mencapai masa kejayaan pada tahun 1950-an. “Mereka (artis yang tinggal di Prinsen Park) biasa dipanggil artis-artis tangkil atau artis-artis dekil,” dikutip Aneka, nomor 35 tahun 1955.
Para artis Tangkiwood pun tak semua bernasib baik. Husin Lubis, salah satu artis bernasib kurang beruntung memiliki rumah dengan ruangan berukuran 3 x 2 meter. Dinding rumah gedhek. Atapnya daun kelapa. Sementara lantainya tanah liat. Husin menjadi pemain di taman hiburan dengan bayaran harian. Dia tidak mendapat jatah bermain secara tetap atau reguler sehingga per hari, bila mendapat peran, Husin dibayar 40 hingga 75 rupiah.
Sebagai gambaran, Udjang, seorang pemain film dan sandiwara, terkadang menerima bayran bermain film, tetap dia memiliki gaji tetap keran merupakan pemain reguler di Golden Arrow. Dengan penghasilannya, Udjang masing kebingungan bila satu anak baru naik kelas meminta beli sepeda, sementara satunya merengek minta dibelikan buku.
Tangkiwood memang menyimpan sepenggal sejarah sisi lain dunia hiburan tanah air. Ternyata gemerlap dunia hiburan tak selalu setia melekat pada kehidupan sehari-hari sang pelaku hiburan. (*)