Film Shadow Play Menawarkan Sisi Lain Peristiwa 1965


Poster film Shadow Play
SEORANG pemuda berpeci menebar senyum tampil. Dia berseru, “tangan kanan naik setinggi telinga. Jari lima bersatu. Apa artinya itu? Negara kita sudah merdeka. Suara mengguntur mengucapkan salam nasional: Merdeka!”.
Gambar lantas berpindah-pindah, menampilkan sosok Perdana Menteri, Amir Sjarifuddin dan Sukarno, sedang memberikan salam nasional.
Begitulah film dokumenter berjudul Shadow Play mengawali babak kemerdekaan Republik Indonesia.
Film berdurasi satu jam ini mengupas secara komprehensif situasi 1965. Bukan saja politik internal negara Indonesia, pun pengaruh dari situasi global kala itu diterangkan secara objektif.
Film Shadow Play menawarkan perspektif lain persitiwa 1965. Melalui berbagai wawancara para korban dan orang-orang di seputar persitiwa memberi kesaksian mengenai malam penuh misteri tersebut.
Pada peristiwa 30 September 1965, enam jendral Angkatan Darat Indonesia diculik dan meregang nyawa karena berondongan tembakan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Pembunuhan sang jendral kemudian menggerakan sebuah perjuangan kekuatan nasional mengarah pada penggulingan Presiden Sukarno. Soeharto naik menjadi presiden. Teror berdarah terhadap para anggota, simpatisan, dan orang dicap PKI serta para Sukarnois bergulir.
Selama lebih tiga dekade, kejadian malam penuh misteri 30 September 1965, dikaburkan fakta-faktanya melalui propaganda. Melalui dokumen deklasifikasi, wawancara dengan para tapol, wartawan, korban penyiksaan, film garapan Chris Hilton menampilkan intepretasi baru nan mengejutkan mengenai peristiwa 65 dalam membentuk sejarah Indonesia modern dan mengubah takdir Asia Tenggara.
Lewat narasi Linda Hunt pemeran karakter Billy Kwan pada film The Years of Living Dangerously, Hilton menyajikan tragedi 1965 secara gamblang dan jelas.
Pada film rilisan tahun 2003 ini, beberapa tokoh mantan tahanan politik 1965 muncul, seperti sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dokter Sumiyarsi, Carmel Budiardjo, nampak pula Edward Maters dari kedutaan AS periode 1964-1968; wartawan Rolland Challis, koresponden Asia, dari BBC tahun 1964-1969; dan Joyo Santoso, saudara Ibnu Santoro, cendekiawan korban pembunuhan massal di Wonosobo pada 1965. (*) Achmad Sentot