Film Dokumenter Masean`s Message, Pesan Rekonsiliasi Peristiwa 1965 Dari Desa Batuagung Bali

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Sabtu, 30 September 2017
Film Dokumenter Masean`s Message, Pesan Rekonsiliasi Peristiwa 1965 Dari Desa Batuagung Bali

Potongan adegan film dokumenter Maseans Meassage.

Ukuran:
14
Font:
Audio:

PENDUDUK Desa Batuagung, Kabupaten Jembrana, Bali, gempar. Kejadian bunuh diri acap terjadi. Insiden-insiden di luar nalar juga susul-menyusul menghantui. Terakhir, menimpa seorang anak perempuan terkena lemparan batu entah dari mana asalnya, tapi jelas tak ada orang di sekitarnya.

Dari kejadian demi kejadian janggal tersebut, masyarakat percaya ada kaitan dengan ruh-ruh getayangan di desanya dan harus harus disempurnakan. Tapi, siapa para ruh itu?

Misteri pencarian asal mula ruh-ruh getayangan tersebut menjadi bahan baku film dokumenter Masean`s Message garapan sutradara Dwitra J Ariana.

Penelusuran, sebagaimana tergambar pada film, dilakukan melalui cerita mulut ke mulut masyarakat tentang kuburan masal akibat suatu peristiwa di tahun 1965.

Paska-peristiwa 30 September 1965, seluruh simpatisan, anggota, kader, bahkan orang dituduh dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarnois dikejar untuk dipenjarakan atau dibunuh.

Seymour Topping, jurnalis New York Times, melaporkan tak kurang dari setegah juta nyawa hilang akibat peristiwa 1965. Di Bali, termasuk di Desa Batuagung pun terkena imbas.

Masyarakat setempat tahu, bahkan telah menjadi rahasia umum mengenai sebuah tempat di Desa Batuagung menjadi lokasi pembantaian.

Seorang lelaki tua berumur 70 tahun, kala itu membunuh para korban bercerita secara lugas pada film tersebut tentang siapa saja, dan bagaimana cara mereka meregang nyawa. “Si Dipak, bapaknya si Darma sangat kuat, Sudah dihajar habis-habisan nunggu lama buat lubang, tetap hidup,” ungkap si lelaki tua kepada tiga orang pemuda di sebuah sungai.

“Lalu?” tanya seorang pemuda.

“Dikubur saja. Dikubur hidup-hidup”.

Kejadian getir pembunuhan di desa itu berlangsung tanpa mengenal hubungan sesama manusia, kerabat, saudara, bahkan keluarga. Siapa kawan dan lawan ditentukan kepada plilihan politik.

Si lelaki tua pun mengatakan tak ada salah benar ketika itu. Semua menjadi korban jaman. “Mereka yang mati tidak bersalah kepada kita. Ini karena pemerintah. Pemerintah yang mengadu kita”.

Para masyarakat desa kemudian bersepakat untuk melakukan pemobngkaran lokasi pembantaian dan mengadakan upacara untuk orang telah meninggal, Pitra Yadnya. Mereka kemudian secara swadaya mengumpulkan dana.

Detik-detik traktor menggaruk lokasi pembantaian dan menemukan tulang belulang ditampilkan secara dramatis pada film nomitor Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik tahun 2016.

Di akhir film, nampak para penduduk desa menggunakan pakaian tradisonal Bali, membawa tulang belulang untuk dilarung agar ruh mereka sempurna.

Dwitra J Ariana menyajikan secara apik bagaimana rekonsiliasi di tingkat bawah terhadap peristiwa kelam tahun 1965 berjalan dengan sangat baik dan melibatkan masyarakat. (*)

#FIlm Pengkhianatan G30S/PKI #Peristiwa 1965 #Sejarah Peristiwa 1965 #Korban Pembantaian 1965
Bagikan

Berita Terkait

Bagikan