Dugaan Keterlibatan CIA Pada Peristiwa 1965


Demo menuntut pembubaran PKI paska-peristiwa G30S
PESAWAT pembom Invader B-29, berawak pilot asal Amerika, veteran perang Korea, Allen Lawrence Pope dan operator Jan Harry Rantung, mendapat serangan mendadak. Tembakan demi tembakan mengambul dari pesawat Mustang berpilot Kapten Ignatius Dewanto. Pesawat B-29 membalas. Pertempuran sengit terjadi di langit pulau Ambon, Maluku.
Tembakan mengenai pesawat B-29, kedua awak pun berhasil ditangkap dan ditawan di Pulau Hatala, Maluku Tengah. Pope merupakan salah satu pilot Angkatan Udara Revolusioner (AUREV), pasukan tempur udara milik Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) atas bantuan Amerika melalui pangkalan militer Clark di Filipina.
Pemerintah Amerika, tulis Barbara Sillars Harvey pada Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, lantas memutus bantuan kepada Permesta di Sulawesi dan PRRI di Sumatera, dengan menarik seluruh armada ke Filipina, kemudian mengubah strategi untuk membendung pengaruh Komunis di Asia Tenggara, terutama di Indonesia.
Setelah PRRI/Permesta gagal, pemerintah Amerika mengalihkan bantuan kepada Angkatan Darat untuk membatasi kiprah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjungkal kekuasaan Sukarno. "Sekaligus Amerika berharap bahwa dengan tersingkirnya PKI dan Bung Karno, Indonesia akan berada di bawah dominasi militer yang anti-komunis dan yang berorientasi ke Barat," tulis Baskara T. Wardaya dalam Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal '65 hingga G30S.
Peluang tersebut kemudian mendapat angin pada tahun 1965. Pemerintah Amerika melalui dinas intelejen CIA diduga ikut bermain pada pelemahan PKI di tahun pecahnya G30S. CIA, menurut jurnalis BBC Roland Challis, telah giat menginfiltrasi eselon atas Angkatan Darat dan menjatuhkan pilihan terhadao seorang perwira oportunis, untuk kemudian "membantu dia dalam menjalankan suatu kudeta bertahap yang berlanjut dengan pembunuhan lebih dari sejuta orang yang dituduh sebagai komunis," tulis Challis dalam Shadow of a Revolution.
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Peter Dale Scott, seorang mantan diplomat Kanada dan dosen di Univesitas California-Barkeley. Dengan tegas Scott mengatakan, "Pemerintah Amerika berbohong dalam soal ke-tidakterlibatannya itu". Setalah melacak program-program militer AS di Indonesia sejak pertengahan 50-an, dia menunjukkan bahwa di sekitar 1965 volume bantuan militer AS untuk faksi tertentu dalam AD meningkat tajam.
Dalam dugaan kaitan dengan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI dan Sukarnois sejak 1965 hingga 1967, keterlibatan Amerika tampaknya juga sulit dipungkiri. Challis menyebut kembali informasi Kathy Kadane di koran San Fransisco Examiner, 20 Mei 1990 serta koran Washington Post edisi 21 Mei 1990, tentang tindakan CIA menyerahkan suatu daftar kepada pihak AD berisi 5000 nama "orang-orang komunis" yang harus dibunuh.
Meski markas besar CIA di Washington, Amerika Serikat, mementahkan spekulasi keterlibatan CIA pada penyusunan daftar tersebut, namun, menurut Baskara T Wardaya, dua orang pekerja di Kedubes AS, Jakarta, Joseph Lazarsky (Wakil Ketua Cabang CIA di Jakarta) dan Edward Masters (Direktur Bidang Politik Kedubes), justru menyatakan pihak CIA terlibat.
Keterlibatan CIA juga dipertegas pengakuan bekas anggota staf Bidang Politik Kedubes AS kala itu, Robert Martens, mengakui keberadaan daftar “merupakan bantuan yang amat berguna bagi AD”.
Robert Martens, bekas anggota staf Bidang Politik Kedubes AS kala itu, mengakui keberadaan daftar tersebut pada 1990. Daftar itu "merupakan bantuan yang amat berguna bagi AD,” tulis Martens sebagaimana dikutip Baskara T Wardaya, Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal '65 hingga G30S. "Mereka (AD) mungkin membunuh banyak orang, dan tangan saya sendiri mungkin berlumuran darah, tetapi toh tidak semuanya jelas. Ada momen di mana seseorang harus ambil tindakan tegas pada saat-saat yang menentukan." (Pon)