Dua Serangan Beruntun Lie Tjhing Yan, Pecundangi Si Singa Batu Asal Singapura


Liem Tjhing Yan berada di tengah para muridnya. (Alex Cheung dkk Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indoneisa)
KOTA Makassar mendadak demam Kungfu. Entah di pasar, kantor pemerintahan, bahkan di dalam rumah, hampir semua orang membahas kehebatan jurus, maupun teknik main pukulan seorang pendekar asal Singapura berjuluk Singa Batu (Bok Ki Say).
Masyarakat heboh lantaran Wong Hiang Kun, nama asli Singa Batu, berkoar-koar menantang jago Kungfu Makassar di dalam sebuah pertandingan resmi hidup dan mati.
Hampir seluruh masyarakat Makassar kala itu menaruh perhatian khusus, bahkan bertaruh menjagokan Singa Batu karena kehebatan tenaga dalamnya. Tapi tidak bagi seorang keturunan Arab-Makassar. Dia justru menjagokan tetangganya, Lie Tjhing Yan, lawan Singa Batu kelak.
Tang sengaja, suatu hari, keturunan Arab tersebut mengintip Lie Tjhing Yan berlatih menerima serangan dan keroyokan paman perguruannya. “Pergerakan langkah kaki Lie Tjhing Yan sangat cepat seperti angin, gerakan kakinya juga sangat hidup,” ujarnya sebagai dikisahkan Alex Cheung dkk pada Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia.
Baca juga: Dalami Ilmu Kungfu, Lim Sin Tjoei Muda Banyak Berguru
Kehebohan masyarakat Makassar semakin menjadi-jadi ketika panggung untuk bertanding (Leitai) setinggi dua meter telah berdiri di lapangan Trembesi, Kota Makassar. Pertanda pertandingan segera berlangsung.
Beberapa hari jelang pertandingan, Singa Batu mulai melakukan perang urat saraf (psywar), melakukan unjuk kebolah di tengah kota, beratraksi memutuskan rantai sepeda motor dengan menggunakan jari. Penonton pun bersorak-sorak mengagungkan namanya.
Pertandingan pun tiba. Kalender menunding tahun 1930. Lelaki bertubuh besar si Singa Batu mulai bersiap di tepi panggung. Begitu namanya dipanggil, seketika tubuhnya melontar tinggi melompati panggung setinggi 2 meter dengan sekali lompatan (bergingkang).
Di atas ring, Singa Batu lagi-lagi pamer kekuatan. Dia menggenggam dua botol bir di masing-masing tangan. Urat-urat tangan dan jemarinya mulai keluar. Cengkeraman semakin menguat, dan..... prraanggggg, beling botol berhamburan.
Tak cukup sampai di situ, Singa Batu lalu salto dan mampu berdiri di lokasi tepat tak ada beling sama sekali. Penonton pun bertepuk tangan, meriah sembari bersorak sorai. Penonton makin jelas memasang taruhan bagi si Singa Batu.
Encek Bacih Pilih Kie Lin sebagai Khas PGB Bangau Putih
Di sisi lain, sang lawan tanding Singa Batu terlihat begitu meragukan. Lie Tjhing Yan hanya berjalan menaiki tangga memasuki ring, beriring rombongan teman dan saudara seperguruannya sembari membawa bendera Tao Kun, partai Lay Kee Koan, sebuah aliran kuno Tiongkok.
Di atas ring, Li Tjhing Yan berkata kepada Singa Batu agar jika salah seorang di antara mereka terluka maka pemenang harus mengobati hingga sembuh. Singa Batu menolak. Mereka lantas sepakat bertanding hingga akhir.
Teenggggg... Lonceng pertandingan berbunyi. Singa Batu mulai gerakan mengangkat tangan kanan setinggi kepala, dengan tujuan mengahantam bagian kepala lawan, dan tangan kiri di pinggang bermaksud sebagai tinju susulan.
Sekejap mata, tinju kanan Singa Batu bergerak cepat. Tapi belum sampai posisi Lie Tjhing Yan, serangan itu mentah dan mendadak Singa Batu jatuh berlutut. Sementara Lie Tjhing Yan hilang dari posisi.
Sorak penonton seketika surut. Hening. Mereka terbingung-bingung. Wasit pun heran mengapa Singa Batu berhenti melakukan serang dan hanya bersimpuh.
Riwayat Guru Besar Encek Bacih; Anak Kecil Nakal yang Setia Kawan
Lie Tjhing Yan menunggu. Di seberangnya, Singa Batu berusaha mengatur napas dan berupaya bangkit meneruskan pertarungan. Belum sempat berdiri sempurna, Singa Batu lagi-lagi jatuh tersungkur. Dia tidak bisa melanjutkan pertandingan. Penonton kecewa dan menanti jawaban.
Para penonton juga wasit, seturut Alex Cheung, tidak mengetahui ketika Singa Batu melakukan serangan cepat, Lie Thing Yan mendahului dua kali serangan beruntun secepat kilat mengenai ulu hati Singa Batu. “Wong Hiang Kun pun sempoyongan dan tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan,” tulis Cheung.
Sepulang pertandingan, Singa Batu meminta racikan obat dari tempat asalnya, namun karena jarak tempuh perjalanan, obat pun terlambat tiba. Singa Batu menemui ajal beberapa hari usai pertandingan.
Sejak pertandingan itu, nama Lie Tjhing Yan semakin tersohor sebagai jago Kungfu hingga ke pulau Jawa. Di Surabaya, Liem Khee In (kelak menjadi salah satu muridnya) menulis jalannya pertandingan di surat kabar berbahasa Belanda, De Prottel. (*)