Dongeng Digital, Apakah Lebih Baik Dari Dongeng Tradisional?


Para pendongen Ayo Dongeng Indonesia sedang menghibur anak-anak di Ganara Art, Kemang. (Foto: MP/Ikhsan Digdo)
PERKEMBANGAN dunia digital memberi peluang baru bagi dongeng untuk tumbuh dan berkembang. Beragam pilihan tema cerita, aneka medium bercerita mulai boneka hingga action figure, terdapat di dalam "Dongeng Digital".
Dengan mengetik kata 'dongeng' pada kolom pencarian di platform YouTube, maka deretan video dengan konten dongeng tersaji luas. Dan, cuma-cuma alias gratis.
Bagi para anak muda melek teknologi, hamparan pilihan dongeng menjadi pilihan lain berliterasi. Menggabungkan dunia sastra, terutama dongeng, dengan teknologi digital menjadi padu-padan penting untuk meningkatkan literasi digital. Dengan begitu, diharapkan para pengguna perangkat teknologi bisa mengakses dongeng kapan pun.
Salah satu penggerak "Dongeng Digital", Ayo Dongeng Indonesia, berusaha keras agar dongeng menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan seseorang di dunia maya. "Bagaimana caranya adalah (dongeng) harus beradaptasi. Sehingga dongeng mendekat dengan gadget," ujar Nina, Co Founder Komunitas Ayo Dongeng Indonesia kepada merahputih.com.
Ayo Dongeng Indonesia secara berkala mengunggah konten dongen pada kanal YouTube mereka. Meski begitu, pihaknya masih kewalahan menyajikan beraneka ragam dongeng Nusantara dengan jumlah tak sedikit. "Memang belum sempurna, jadi kita kerjasama dengan YouTube dan Google," tambah Nina.
Meski perlahan dongeng telah hadir di dunia digital, apakah akan mengganggu dongeng tradisional dengan penyajian konvensional?
Dongeng Digital, menurut Nina, hadir untuk menjadi perpanjangantangan dongeng konvensional. Dongeng digital dan tradisional juga memiliki kesamaan. Misalnya masalah durasi. Keduanya sama-sama harus memiliki durasi sekitar 5-15 menit. Karena jika terlalu lama durasinya. Perhatian anak menonton dongeng dapat teralihkan. "Idealnya mendongeng 10-15 menit. Di atas ini anak-anak akan kehilangan konsentrasi," imbuh Nina.
Meski begitu, Dongen Digital, lanjut Ninan, bukan semata-mata untuk dikonsumsi anak-anak, tapi justru untuk para orangtua. Selain mendampingi anaknya menonton, orangtua dapat belajar mendongeng dari konten di Youtube. "Digital itu sebenarnya hanya pilihan, jadi lebih baik lagi jika orangtua mendongeng," tambah Nina.
Dongen konvensional, menurutnya, tetap memainkan peranan karena lebih menarik minat anak dengan adanya iteraksi langsung. Biasanya si anak pun juga akan memberikan respon saat diajak berinteraksi.
Belum lagi ekspresi pendongen, biasanya sangat disukai anak-anak. Bahkan enggak jarang anak-anak tertawa saat melihat ekspresi lucu diperagakan pendongeng sambil menyampaikan cerita.
Dengan kenyataan itu, Ninan menegaskan para pendongeng tradisional enggak akan tergusur oleh kegiatan mendongeng digital. Pendongeng konvensional akan selalu dicari sampai kapan pun. "Interaksi dengan anak, dan ekspresi pendongeng, itu sih yang enggak akan tergantikan oleh dongeng digital," tukas Nina. (ikh)