Dari Kebebasan ke Penjara, Kisah Bertahan Hidup Tahanan Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Senin, 10 Februari 2025
Dari Kebebasan ke Penjara, Kisah Bertahan Hidup Tahanan Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Presiden Sukarno membicarakan pembubaran partai politik yang tak sejalan dengannya pada 1960-an. (Foto: Repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka))

Ukuran:
14
Audio:

MerahPutih.com - Halo, Guys! Bayangkan kamu sedang mengikuti diskusi di kantin sekolah, kedai kopi, atau taman terbuka tentang topik yang kamu sukai, tetapi tiba-tiba seseorang datang dan melarangmu berbicara.

Rasanya pasti enggak enak dan enggak adil banget, bukan?

Pada era digital saat ini, kita bebas menyuarakan pendapat kita melalui media sosial, berdiskusi dengan teman, dan mengikuti berbagai kegiatan yang kita minati. Namun, kebebasan ini enggak selalu ada pada tiap zaman.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di Indonesia, kebebasan berpendapat dan berpolitik sangat dibatasi. Pemerintah saat itu, di bawah Presiden Sukarno, menganggap banyak suara kritis sebagai ancaman bagi stabilitas negara.

"Kekuasaan pemerintah telah diperluas menjangkau pers, penerbitan dan impor buku, kehidupan sekolah dan universitas-universitas," begitu menurut Herbert Feith, peneliti politik Indonesia asal AS, dalam buku Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin.

Akibatnya, banyak orang yang ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan hanya karena pandangan politik dan pendapat yang berbeda dengan penguasa.

Mereka disebut sebagai tahanan SOB (staat van oorlog en beleg/darurat perang). Sekarang bisa juga disebut sebagai tahanan politik (tapol).

Di penjara, mereka dicampur dengan tahanan kriminal. Mereka memang mendapat perlakuan khusus seperti diperbolehkan membawa barang-barang yang diperlukan dari rumah sebelum menjalani masa penahanan.

Namun, berbeda dari tahanan kriminal yang jangka waktu penahanan, pasal dakwaan, dan kasusnya jelas, tahanan politik Demokrasi Terpimpin enggak pernah tahu apa kesalahan mereka dan berapa lama bakal ditahan.

Hidup mereka di penjara penuh tantangan dan ketidakpastian. Seperti apa sih kehidupan mereka?

Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana pengekangan kebebasan ini berdampak pada kehidupan mereka dan apa yang bisa kita pelajari dari sejarah tersebut.

Baca juga:

Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin, Dari Konfrontasi dengan Blok Barat sampai Keluar PBB

Mengapa Kebebasan Dibatasi Pada Masa Demokrasi Terpimpin?

Presiden Sukarno punya gagasan sendiri tentang demokrasi.

Melalui pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", Sukarno mengartikan demokrasi sebagai alat rakyat buat mencapai tujuan revolusi Indonesia.

Menurut Sukarno, tujuan revolusi Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Buat mencapai tujuan itu, rakyat harus seiring sejalan dengan pemimpin yang dianggap sesepuhnya. Kata Sukarno, inilah cermin demokrasi yang sesuai dengan kepribadian nasional.

Pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1959 di Istana Negara
Sukarno berpidato di podium Istana Negara tentang tujuan revolusi Indonesia, 17 Agustus 1959. (Foto: Repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka)

"Cerminan kepribadian bangsa Indonesia, yang sejak zaman purbakala mula mendasarkan istem pemerintahannya pada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan-sentral di tangan seorang 'sesepuh', seorang tetua," ujar Sukarno dalam pidatonya.

Meski kekuasaan terpusat di satu orang, Sukarno menganggap itu bukan kediktatoran atau kesewenang-wenangan. Sesepuh itu haruslah mengayomi.

Dengan begitu, Sukarno menarik garis pemisah yang jelas antara demokrasi yang sebelumnya dipraktekkan Indonesia, yaitu demokrasi parlementer yang mengadopsi demokrasi Barat: satu orang, satu suara.

Konsep ini berdampak pada sempitnya kesempatan orang lain buat berpendapat dan berbicara yang berbeda dengan pemimpinnya.

Kesempatan ini kian dipersempit oleh situasi SOB atau Staat van Orlog en Beleg, yang berarti negara dalam keadaan bahaya sejak 14 Maret 1957.

Kenapa kok Indonesia dalam keadaan bahaya?

Saat itu, banyak gerakan kritis di daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi (Perjuangan Rakyat Semesta/Permesta), menuntut pembangunan yang adil antara Jawa dan luar Jawa.

Gerakan kritis itu berkembang menjadi gerakan perlawanan bersenjata yang diinisiasi oleh kelompok militer, lalu didukung oleh kelompok sipil (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/PRRI).

Pemerintah menganggap gerakan-gerakan itu membahayakan negara. Karena itulah keadaan darurat perang diberlakukan.

Darurat perang disebut juga darurat militer. Maka militer, terutama Angkatan Darat (AD), mulai cawe-cawe atau mengambil alih pemerintahan.

Berita Percobaan Pembunuhan Presiden Sukarno
Potongan berita tentang upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di harian Nasional, 10 Januari 1962. (Foto: Perpusnas)

"Di bawah naungan hukum darurat perang, AD segera melakukan intervensi yang meluas dalam kehidupan politik dan ekonomi negara," kata Adnan Buyung Nasution dalam buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.

"Kekuasaan AD di bawah hukum darurat perang begitu besar sehingga pemerintahan sipil (birokrasi) tidak lagi sanggup mengawasinya," lanjut Buyung.

Nah, salah satu tindakan AD yang paling berpengaruh kuat adalah membatasi kebebasan politik dan berpendapat.

Apalagi setelah keadaan darurat perang diberlakukan, situasinya makin buruk. Ditandai dengan beberapa kali upaya pembunuhan terhadap Sukarno. Mulai dari penembakan pakai pesawat tempur hingga pelemparan granat!

Baca juga:

Kehidupan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin, Rakyat Antre Berjam-Jam Demi Dapat Barang Pokok

Ide Anak Agung Gde Agung Ditahan Setelah Gelar Upacara Kematian Ayahnya

Karena ada beberapa kali upaya pembunuhan Presiden serentang 1959-1962, para pendukung Sukarno di pemerintahan mulai waspada.

Mereka menerima tiap laporan tentang orang-orang yang dicurigai bakal bertindak subversif (melawan negara).

Meski enggak semua laporan itu ditindaklanjuti, ada satu laporan yang mendapat perhatian serius. Laporan itu menyebutkan tentang gerakan VOC (Vrijiwillige Ondergrondsce Corps/Sukarelawan Bawah Tanah) yang merencanakan penggulingan rezim Sukarno.

Orang-orang yang terlibat berasal dari dua partai politik oposisi yang sudah berhasil diberangus rezim Sukarno pada 1960: Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Oeotojo Ramelan, Ide Anak Agung Gde Agung, dan Mohamad Roem pada 1955
Ide Anak Agung Gde Agung (tengah) dan Mohamad Roem (kanan) ketika masih menjadi menteri pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1955, sebelum ditahan pada Masa Demokrasi Terpimpin. (Foto: Nationaal Archief)

Mereka adalah Sutan Sjahrir (Ketua Partai Sosialis Indonesia/PSI), Mohamad Roem (tokoh Masyumi), Prawoto Mangkusasmito (Ketua Masyumi), Isa Anshari (Masyumi), Yunan Nasution (Masyumi), Soebadio Sastrosatomo (PSI), dan Ide Anak Agung Gde Agung (PSI). Semuanya adalah penentang konsep Demokrasi Terpimpin.

Tokoh-tokoh itu ditangkap dan ditahan pada 16 Januari 1962 pagi buta. Mereka dibawa dari rumahnya masing-masing ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Gajah Mada, Jakarta.

Menurut pemeriksa, mereka terlibat dalam rapat gelap penggulingan rezim Sukarno pada saat upacara pembakaran ayah Ide Anak Agung Gde Agung di Gianyar Bali tahun 1961.

"Oleh tim pemeriksa kami dituduh di rumah saya di Gianyar mengadakan rapat gelap dengan tujuan merumuskan sesuatu tindakan tidak konstitusional menjatuhkan pemerintahan Orde Lama," kata Anak Agung dalam artikelnya "Pak Roem yang Saya Kenal", termuat dalam buku Mohamad Roem 70 Tahun.

Orde Lama adalah sebutan dari Orde Baru Soeharto buat menyebut masa Demokrasi Terpimpin.

Menurut Anak Agung yang juga pernah jadi menteri luar negeri itu, tuduhan itu dibikin-bikin saja.

"Bagaimana kami dapat mengadakan rapat gelap di rumah saya sedangkan pada waktu itu ribuan orang datang untuk mengunjungi upacara pembakaran jenazah itu," kata Anak Agung.

Bung Hatta, mantan wakil presiden, pun berkeberatan banget dengan penahanan tokoh-tokoh tersebut. Ia berkirim surat ke Sukarno, sahabatnya.

Namun, dalam surat itu, Bung Hatta enggak menggunakan panggilan 'Bung' seperti biasa. Menunjukkan kekesalan yang mendalam.

"Dan saya yakin dari sejarah bahwa Sjahrir dan lain-lainnya itu prinsipil menentang segala macam teror," kata Bung Hatta dalam suratnya 19 Januari 1962, seperti termuat di buku Hati Nurani Melawan Kezaliman.

Namun, protes Bung Hatta enggak mengubah sikap rezim Sukarno.

Selama tiga bulan memeriksa mereka, para petugas enggak bisa menemukan bukti kuat tuduhan tersebut. Namun mereka tetap ditahan. Bahkan dipindah ke penjara di Madiun dengan status sebagai tahanan politik/SOB.

Sebelum berangkat, mereka difoto oleh petugas penahanan dengan memakai celana kolor saja.

"Memperlakukan kami sebagai seorang tahanan kriminil biasa tidaklah mudah akan kami dapat lupakan," kenang Anak Agung.

Di penjara Madiun, mereka menjalin keakraban yang kuat. Para tahanan politik menunjuk Mohamad Roem, yang pernah menjadi menteri luar negeri, sebagai semacam 'lurah'. Alasannya, usia Roem paling tua di antara tahanan lainnya.

Tugas Roem adalah mewakili kepentingan para tahanan kepada kepala penjara.

Roem mengupayakan agar para tahanan mendapat perlakuan yang wajar. Misalnya soal makanan, kesehatan, latihan jasmani, bahan bacaan, dan lain sebagainya.

Para petinggi Masyumi di penjara Madiun
Tokoh-tokoh Masyumi di penjara Madiun Masa Demokrasi Terpimpin. (Foto: Repro buku Kenang-kenangan dibelakang Terali Besi di Zaman Rezim Orde Lama karya Yunan Nasution)

Setelah peristiwa G30S/Gestapu pada 30 September 1965, orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap. Sebagian ditempatkan di penjara Madiun.

Para tahanan politik sempat bertanya kenapa mereka disatukan dengan partai yang selama ini memusuhi mereka. Namun enggak ada jawaban memuaskan dari petugas penjara.

Peristiwa G30S/Gestapu membawa para tahanan politik Demokrasi Terpimpin ke pintu kebebasan. Kuasa Sukarno mulai melemah.

Pada Januari 1966, para tahanan politik SOB dipindahkan ke Jakarta, lalu dibebaskan pada 17 Mei 1966.

Baca juga:

Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Terpimpin, Pers Dikekang dan Budaya Barat Dilarang

Mochtar Lubis Tetap Latihan Yoga di Penjara

Selain tokoh partai politik, tokoh pers juga jadi sasaran penangkapan rezim Sukarno. Salah satunya Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya.

Mochtar ditahan di RTM Jakarta pada 14 Juli 1961. Tuduhannya juga subversif, tapi bukan melalui upaya pembunuhan presiden, melainkan lewat kritik di tulisan-tulisannya.

Salah satunya pidato di Tel Aviv, Israel. Pidato itu dianggap melawan konsep Manifesto Politik Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional (Manipol-Usdek) buatan Sukarno.

Pagi hari, seorang petugas keamanan mendatangi Mochtar agar menghadap ke markas Peperti (Penguasa Perang Tertinggi), suatu badan yang punya kekuasaan tertinggi dan dibentuk dalam masa SOB.

Mochtar Lubis tahun 1979
Mochtar Lubis, mantan tahanan politik masa Demokrasi Terpimpin, berpose pada 1979. (Foto: Nationaal Archief)

Mochtar menunggu berjam-jam sebelum bertemu pejabat Peperti.

Menjelang pukul 01.00, pejabat itu baru menemui Mochtar.

"Saya menyesal sekali Saudara Mochtar Lubis, ini suatu perintahan penahanan Saudara," kata Mayor Sudharmono, salah satu pejabat Penguasa Perang Tertinggi, suatu badan yang punya kekuasaan tertinggi dan dibentuk dalam masa SOB.

Mochtar melihat ada tanda tangan Djuanda Kartawijaya, Menteri Pertama Indonesia. Rupanya dia harus menunggu lama buat menunggu tanda tangan dari salah satu pembesar negara ketika itu.

Sebelum ditahan, Mochtar diizinkan pulang buat mengambil barang-barang pribadi. Setelah itu, ia ditahan di RTM selama enam bulan.

Di penjara itu, Mochtar menulis catatan harian dan dibukukan dengan judul Catatan Subversif.

Mochtar hidup bersama para tahanan kriminal biasa dari kalangan tentara di penjara RTM. Ada pembunuh, pemerkosa, dan desertir.

Tahanan kriminal diperlakukan lebih buruk daripada tahanan politik. Mereka juga kerap cerita banyak hal ke Mochtar: dari soal gaib sampai pengalaman berpacaran.

Meski diperlakukan agak berbeda dari tahanan kriminal, Mochtar menganggap penjara RTM adalah penjara yang buruk. Terutama dari kebebasan bergerak dan makanan.

Beberapa tahanan politik/SOB bahkan sampai memprotes ke petinggi penjara.

"Mereka menjanjikan perbaikan dan perhatian pada nasib tahanan SOB, dan mengakui tahanan SOB memang bukan tempatnya di RTM."

Masa penahanan Mochtar diperpanjang meski masa SOB dicabut secara berangsur-angsur mulai 19 November 1962 sampai 1 Mei 1963.

Mochtar lalu dipindah ke penjara Madiun pada Januari 1963. Ia merasa lebih baik di penjara ini.

Sketsa RTM karya Mochtar Lubis
Mochtar Lubis menggambar sketsa Rumah Tahanan Militer. (Foto: Repro buku Catatan Subversif)

"Penjara yang berkapasitas 40 orang itu hanya diisi 14 tawanan. Selain itu di Madiun terasa agak bebas karena bisa main tenis atau berenang, kata Mochtar dalam Kompas 9 Juni 1980.

Namun, sebaik-baiknya penjara, enggak bisa mengalahkan suasana rumah sendiri.

Mochtar mengaku rindu berat dengan istri dan anak-anaknya. Meski kerap dijenguk, Mochtar tetap ingin kebebasan berkumpul bersama mereka di rumah.

Sembari menunggu waktu itu tiba, Mochtar melanjutkan kebiasaannya beryoga. Akhirnya, kebebasan itu datang pada 17 Mei 1966.

Baca juga:

Jakarta dalam Visi Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin, Kota Mercusuar Modern Negara Asia-Afrika

Jusuf Wibisono Terpaksa Menerima Konsep Manipol-USDEK, Tapi Tetap Ditahan

Berbeda dari kisah Ide Anak Agung Gde Agung dan Mochtar Lubis yang melawan gagasan Sukarno secara frontal, Jusuf Wibisono mengkritiknya secara halus.

Jusuf adalah mantan tokoh Masyumi sekaligus mantan menteri keuangan.

Jusuf dikeluarkan Masyumi pada 1959 karena dinilai enggak sejalan lagi dengan Masyumi. Ia memang sering mengkritik rekan-rekannya sesama Masyumi.

Jusuf sebenarnya punya beberapa keberatan atas konsep Sukarno. Terutama soal penyatuan golongan agama, nasionalis, dan komunis (NASAKOM).

Menurut Jusuf, enggak mungkin orang komunis yang antiagama bisa bersatu dengan orang-orang beragama.

"Orang-orang yang beragama tidak mungkin bisa bekerja sama erat dengan orang-orang yang antiagama, walaupun sama-sama antikapitalis dan antiimperialis," tulis Soebagijo I.N, penulis biografi Jusuf Wibisono, dalam buku Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang.

Namun, waktu itu mayoritas bangsa Indonesia yang ada di pemerintahan menerima gagasan Sukarno. Sebagai minoritas, ia pun terpaksa menyepakati beberapa gagasan Sukarno.

Meski sudah menerima gagasan Sukarno, Jusuf ternyata masih dapat tuduhan berencana menggulingkan rezim Sukarno (subversif). Ancaman hukumannya berat: hukuman mati.

Akibatnya, Jusuf ditahan di Komdak Senayan, Jakarta, pada 26 Desember 1963. Ia lalu dibawa ke Sukabumi buat diperiksa sebagai tahanan politik/SOB.

Selama ditahan di Sukabumi, Jusuf beberapa kali mendengar suara rintihan orang disiksa. Sebagai manusia biasa, Jusuf punya rasa takut juga.

Jusuf Wibisono ditahan di Kebayoran Baru 1965
Jusuf Wibisono dijaga tentara ketika ditahan di Kebayoran Baru, Jakarta, atas tuduhan yang tak pernah terbukti, Juli 1965. (Foto: Repro buku Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang)

Jusuf lalu mendirikan salat tahajud dan berdoa agar diberikan kekuatan menjalani fase kehidupan ini.

Di rumah, keluarga Jusuf enggak mendapat kepastian tentang masa penahanan Jusuf. Salah satu anak Jusuf sampai stres berat, enggak mau lanjut sekolah.

Meski penyidik kesulitan mencari bukti kuat subversi Jusuf, penahanannya tetap diperpanjang.

Jusuf kemudian dipindahkan kembali ke Jakarta mulai April 1964, ke sebuah rumah di Kebayoran Baru.

Seperti tahanan politik lainnya, Jusuf enggak pernah menjalani proses pengadilan. Ia dibebaskan pada Januari 1966.

Begitulah penyimpangan dalam Demokrasi Terpimpin. Kebebasan berpendapat direnggut atas nama keamanan negara.

Mereka yang berani berbeda pendapat harus menanggung konsekuensi yang berat. Kebebasan bisa dengan mudah direnggut.

Nah, apakah kamu siap buat menjaga dan memperjuangkan kebebasan ini agar tidak terulang kembali masa-masa kelam tersebut? (dru)

Baca juga:

Menelusuri Sejarah Demokrasi Terpimpin dan Dampaknya bagi Indonesia, Dari Pembangunan Jakarta Sampai Keterlibatan Militer dalam Politik

#Sejarah
Bagikan
Ditulis Oleh

Hendaru Tri Hanggoro

Berkarier sebagai jurnalis sejak 2010 dan bertungkus-lumus dengan tema budaya populer, sejarah Indonesia, serta gaya hidup. Menekuni jurnalisme naratif, in-depth, dan feature. Menjadi narasumber di beberapa seminar kesejarahan dan pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan lembaga pemerintah dan swasta.

Berita Terkait

Lifestyle
15 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Hari Penting dan Fakta Menariknya
15 September memperingati hari apa? Yup, hari ini bukan sekadar angka dalam kalender di baliknya tersimpan sejumlah peringatan penting
ImanK - Minggu, 14 September 2025
15 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Hari Penting dan Fakta Menariknya
Lifestyle
13 September Memperingati Hari Apa? Ini 7 Peringatan dan Fakta Menarik di Baliknya
13 September Memperingati Hari Apa: 1. Hari Programmer, 2. Hari Berpikir Positif, 3. Hari Twilighters Nasional, selengkapnya
ImanK - Jumat, 12 September 2025
13 September Memperingati Hari Apa? Ini 7 Peringatan dan Fakta Menarik di Baliknya
Lifestyle
12 September Memperingati Hari Apa? Peristiwa Bersejarah hingga Perayaan Unik Dunia
Apa saja yang terjadi pada 12 September? Ini sejarah lengkapnya termasuk Hari Purnawirawan, Tragedi Tanjung Priok, dan peristiwa dunia.
ImanK - Kamis, 11 September 2025
12 September Memperingati Hari Apa? Peristiwa Bersejarah hingga Perayaan Unik Dunia
Lifestyle
9 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Fakta Mengejutkan
9 September memperingati hari apa? 1. Hari Berdirinya Korea Utara, 2. Double Ninth Festival, 3. Hari Olahraga Nasional, selengkapnya
ImanK - Senin, 08 September 2025
9 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Fakta Mengejutkan
Lifestyle
7 September Memperingati Hari Apa? Munir Meregang Nyawa di Udara
7 September memperingati hari apa? 1. Hari Kemerdekaan Brasil, 2. ari Udara Bersih Internasional, 3. National Beer Lovers Day, selengkapnya
ImanK - Sabtu, 06 September 2025
7 September Memperingati Hari Apa? Munir Meregang Nyawa di Udara
Lifestyle
6 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Perayaan dan Fakta Uniknya
6 September Memperingati Hari Apa: 1. Festival Janmashtami, 2. Hari Baca Buku Nasional, 3. Hari Tradisi Melempar Telur, selengkapnya
ImanK - Jumat, 05 September 2025
6 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Perayaan dan Fakta Uniknya
Lifestyle
5 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Peringatan dan Peristiwa Pentingnya
5 September memperingati hari apa? Yup, setiap tahunnya menjadi hari yang sarat makna bukan hanya bagi umat Islam di Indonesia
ImanK - Kamis, 04 September 2025
5 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Peringatan dan Peristiwa Pentingnya
Lifestyle
4 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Menarik yang Jarang Diketahui
4 September Memperingati Hari Apa: 1. Hari Pelanggan Nasional, 2. International Hijab Solidarity Day, 3. Hari Kacang Macadamia Nasional, selengkapnya
ImanK - Rabu, 03 September 2025
4 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Menarik yang Jarang Diketahui
Indonesia
Ketua DKJ Tegaskan Perusakan Benda dan Bangunan Bersejarah Adalah Kejahatan Serius yang Melampaui Batas Kemanusiaan
Sejarah bukan benda mati, melainkan sesuatu yang membuat diri kita ada hari ini
Angga Yudha Pratama - Senin, 01 September 2025
Ketua DKJ Tegaskan Perusakan Benda dan Bangunan Bersejarah Adalah Kejahatan Serius yang Melampaui Batas Kemanusiaan
Lifestyle
2 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Uniknya
2 September memperingati hari apa? 1. Hari Kemerdekaan Vietnam, 2. Hari Kelapa Sedunia, 3. Hari Kemerdekaan Transnistria, selengkapnya
ImanK - Senin, 01 September 2025
2 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Uniknya
Bagikan