Cerita Generasi Milenial Menggeluti Wayang Potehi

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 05 September 2017
Cerita Generasi Milenial Menggeluti Wayang Potehi

Tampak belakang pementasan Potehi grup Rumah CInwa di Jaya Suprana School of Performing Arts. (Dokumentasi Rumah Cinwa)

Ukuran:
14
Audio:

DALANG Wayang Potehi masih menjadi dominasi kaum lelaki. Mereka pun hampir seluruhnya telah berusia lanjut. Regenerasi dalang ‘Boneka Kantong’ sempat terseok lantaran pelarangan pertunjukan Potehi secara terbuka pada masa Orba.

Tiga tahun belakangan, sebuah gerakan kebudayaan bernama Rumah Cinta Wayang (Cinwa) mencoba memutus rangkaian krisis regenerasi dan menghapus stigma Potehi milik kaum lelaki. Digawangi peneliti Budaya Tionghoa-Jawa, Dwi Woro Retno Mastuti, Rumah Cinwa hadir menjadi sarana efektif mengajak anak-anak muda generasi milenial menikmati sekaligus menggeluti Potehi.

Meilia Afkarina Pitaningrum, atau akrab disapa Memei menjadi dalang perempuan generasi kedua setelah Raisa. Mahasiswi semester tujuh program studi Jawa FIB-UI tersebut kini begitu lihai menggerakan boneka potehi. Dia telah mondar-mandir naik-turun pentas menggelar pertunjukan Wayang Potehi di berbagai tempat bersama rekan-rekan Rumah Cinwa.

Kaum muda sangat senang kala Memei, memiliki suara cempreng, melucu dengan menggunakan tema-tema kekinian, gimick serta celotehan anak milinel, menggunakan boneka Potehi. “Kan suaraku cempreng, jadi tambah lucu deh,” tukas Memei.

Semula, Memei mengaku tidak sengaja berjumpa hingga kemudian jatuh cinta kepada Potehi. Saat diundang hadir pada pesta ulang tahun kecil-kecilan sang dosen, Dwi Woro Mastuti, dia melihat deretan boneka-boneka lucu bersandar di lemari besar. “Ndilalah, Bu Woro mengijinkan boneka Potehi kita mainkan. Ya, saya dan beberapa teman spontan berlagak ndalang. Lakonnya ngasal karena enggak tahu juga cerita aslinya gimana,” ungkapnya.

Dari situ, Memei kemudian bertanya, mencari tahu, dan berlatih untuk bisa belajar mendalang Wayang Potehi. Meski telah manggung di beberapa pentas, Memei tetap merasa canggung bila penonton orang-orang sepuh. “Grogi karena garapan kami kan kreasi baru. Nah, sementara para sesepuh itu tahu pakem asli Potehi. Jadi takut salah,” kata Memei.

Memei bersama kawan-kawan Rumah Cinwa memang melakukan beberapa sentuhan baru dari segi tampilan pentas, lakon, bahkan garapan musik. Mereka mengubah tempat menggantung boneka, semula terdapat di dalam panggung, dibuat dijajar di depan pentas seperti Wayang Kulit Jawa agar kaum milenial menikmati keindahan rupa boneka Potehi. Lakon pun terkadang berisi cerita-cerita saduran. Sementara musik, bila tempat memungkin, acap dikreasikan dengan gamelan Jawa.

Woro Mastuti, pendiri Rumah Cinwa, merasa tak ada masalah dengan pembaruan bentuk pertunjukan hasil kreasi anak-anak Rumah Cinwa. “Karena Potehi ini dimainkan para generasi muda, ditonton pun oleh generasi muda. Enggak masalah kalau ada kreasi baru. Itu kan berarti hasil terjemahan mereka terhadap Potehi,” ujar Woro Mastuti. “Bahkan pernah, salah satu dalang cilik Kenobi membawa lakon Diponegoro. Dia menambahkan unsur Wayang Golek berbentuk orang Belanda menjadi musuh Diponegoro. Penonton pun suka”.

Kenobi Haidarakmal, 11 tahun, hanya belajar singkat mendalang Potehi, tapi justru mampu mementaskan pertunjukan Potehi dengan sangat apik. Tak ada kendala berarti bagi Keno untuk terus berkonsentrasi menyelesaikan pementasan meski mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sedari lahir, terkadang membuat bocah bertubuh gempal tersebu sulit berfokus.

Memei, juga Raisa telah membuktikan berhasil menghapus stigma Potehi milik lelaki, sementara Kenobi mengirim pesan kepada semua agar keterbatasan bukan menjadi alasan untuk mengekang ekspresi berkesenian. (*)

#Wayang Potehi #Sejarah Potehi #Ritual Potehi
Bagikan

Berita Terkait

Bagikan