Cerita Awal Raffles Terkesima Jawa


Thomas Stamford Raffles. (the british museum)
JOHN Casper Leyden, berjalan merambat, gontai, menahan sakit ‘serangan kram perut’ kala menuruni kapal milik seorang Parsi, sesaat menambat di Penang pada 22 Oktober 1805.
Dokter sekaligus pemimpin rumah sakit umum di Madras, India, tersebut berusaha keras mencari tempat terbaik untuk pemulihan penyakit kronis kambuhannya, sedari pedalaman India hingga Malaya.
Dia sempat putus asa, karena hanya beroleh pondokan kecil di dekat pelabuhan untuk tempat meredakan lelah, bagi seorang kesakitan.
“Selaik kedai minuman para angkatan laut, dengan suasana sekitarku penuh bunyi gesekan terpal, umpatan para pelaut, dan bunyi kocokan dadu,” tulis John Leyden pada surat tertuju rekan orientalis sebangsa Skotlandia, James R Ballantyne, 1805, dikutip John Reith, Life of Dr. John Leyden, Poet and Linguist.
Derita sang dokter beranjak pergi ketika utusan Inggris mengantarnya menuju tempat penampungan terbaik di sebuah bungalo, berlokasi di lereng berhutan Georgetown, kediaman Thomas Stamford Raffles.
Di sana, Leyden mendapat perawatan penuh Olivia Mariamne, istri pertama Raffles. Pertemuan itu sangat berkesan bagi Leyden. Sang dokter kepincut bola mata hitam nan indah nyonya berdarah Cherkesia tersebut. Dia kelak mengabadikan kekaguman terhadap Olivia melalui puisi bertajuk Dirge of Departed Year.
Sementara empunya kediaman, Raffles, justru takjub pada wawasan sang tamu mengenai dunia Timur. Raffles terkesima mendengarkan cerita Leyden, nan lihai berbahasa Melayu, mendedah filsafat Timur dan tradisi sastra Asia. Segala kisah masa lampau, berikut takhayul khas khazanah Timur pun tak alpa tersaji.
Bahkan, Leyden masih membumbui kisahnya dengan menyejajarkan puncak kegemilangan masa lampau Timur, bersanding dengan kejayaan Yunani-Romawi.
“Namun dalam percakapannya dengan John Leyden-lah Raffles pertama kali memikirkan tentang Jawa sebagai ‘Tanah Harapan’, tempat seluruh mimpi kejayaannya pada akhirnya bisa terwujud,” tulis Tim Hannigan, pada Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa.
Percakapan mereka pun meruncing, khusus tentang Jawa. Leyden bahkan menganggap Jawa merupakan puncak budaya adiluhung di Asia Tenggara, dengan penduduk Muslim.
Dia mengambulkan fantasi indah kerajaan Mataram dan Majapahit, di bungalo, Georgetown, “Selagi Raffles memperhatikan setiap kata dan Olivia meletakan kompres dingin di kening si jenius nan demam,” tulis Tim Hannigan.
Leyden dan Raffles semakin karib. Keduanya sama-sama gemar eksotisme Timur, baik budaya maupun botani. Sementara Olivia menyelinap di tengah kekariban tersebut.
Karib Raffles memang bukan sembarang dokter. Dia merupakan gambaran ideal orientalis abad-19. Pria kelahiran desa Denhoim, pinggiran sungai Tevoit, perbatasan Skotlandia, pada 1775, sedari usia muda telah mengembangkan ‘imaji Timur’ dengan menggauli karya Homeros; Arabian Nights dan Paradise Lost.
Dia menguasai kajian bahasa Ibrani, Arab, dan ketika menempuh studi Teologi di St.Andrew, tiba-tiba berbelok meraih gelar doktor medis.
Tapi minatnya pada kajian Timur tak jua surut, bahkan kajian lingustik menyeret ketertarikannya lebih jauh untuk mengunjungi tempat-tempat eksotis di dunia, hingga berujung pergulatannya pada khazanah sastra India, kala bekerja sebagai dokter di Madras.
Berkat bumbu Leyden, hasrat orientalis Raffles semakin terbentuk. Dia mulai mempertimbangkan Jawa sebagai ‘Tanah Harapan’. Seturut itu pula lonjakan karir Raffles selama di Penang meningkat bombastis.
Semula dia bertugas sebagai pejabat rendah, dan rajin mengisi setiap pekerjaan kosong milik rekannya lantaran sakit, tak mampu, atau kembali ke negeri asal. Saat Komisi Rahasia East India Company (Perusahaan Hindia Timur Inggris) di Leandenhall Street, London, memberi instruksi kepada Gubernur Jendral Gilbert Elliot, Earl of Minto I (Lord Minto), untuk “melanjutkan penaklukan Jawa pada kesempatan sedini mungkin”, seketika Raffles mendapat tugas baru.
Dia hijrah ke Malaka pada akhir 1810, mengampu jabatan sebagai ‘Agen Gubernur Jendral untuk Negara-Negara Melayu’, dengan tugas mengumpulkan informasi, pelopor invasi, dan merayu sultan dan raja Nusantara berupa sutra halus, satin, dan hadiah agar berpihak pada Inggris.
“Mulai saat ini,” tulis Raffles, selaik dikutip Hannigan, “seluruh pandanganku, seluruh rencananku, dan seluruh benakku dicurahkan untuk menciptakan minat akan Jawa supaya mengarah ke aneksasinya ke dalam Kerajaan Timur kita”.
Setiba di Malaka, seturut Ahmat Adam pada Letters of Sincerity: The Raffles Collection of Malay Letters (1780-1824), Raffles langsung mendata para raja-raja Nusantara dan Malaya potensial untuk memuluskan rencana Inggris menginvasi Jawa.
Dia pun memburu segala potongan informasi mengenai Hindia-Belanda; Jalan Raya Pos dan proyek pembangunan benteng H.W. Daendels, sistem pertanian dan pemerintahan serta hierarki kuno di pedalaman Jawa, mengenai angin dan rute pelayaran, peran imigran Tionghoa, kekuatan dan komposisi pasukan Belanda-Perancis, dan kesemuanya dikumpulkan pada lembaran-lembaran kertas tebal berwarna krem dibubuhkan tanda tangan “Thomas Raffles”.
“Ini (lembar-lembar laporannya) seluruhnya digunakan untuk administrasi Jawa, tapi Raffles menarik semua itu untuk bukunya (Histoy of Java),” tulis Anthony Forge, dalam “Raffles and Daniell: Making the Image Fit”. (*)