Body Shaming Mengarah pada Depresi


Body shaming tidak jauh berbeda dengan bullying. (Foto: yourstory)
“ADUH, kamu kok gendut banget sih”, “dasar hitam!” “lihat tuh muka, isinya jerawat doang sampai enggak ada tempat lagi,” “woi pendek!” kalimat-kalimat tersebut sering sekali kita dengar. Seolah mengasosiasikan seseorang dengan kelemahan fisiknya dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan dapat diterima. Hal semacam itu dikenal dengan istilah body shaming.
Body shaming adalah sikap atau perilaku negatif terhadap penampilan fisik seseorang. Termasuk menyinggung berat badan, warna kulit, tinggi badan dan lain-lain. Contoh body shaming antara lain mengejek orang lain karena bertubuh gemuk, mencela orang karena hidungnya tidak mancung, menghina orang karena warna kulit dan lain sebagainya.
Penyebab utama body shaming yakni karena persepsi tertentu terhadap fisik atau penampilan seseorang. Misalnya, yang dianggap ideal dan sempurna adalah yang berkulit putih, rambut panjang dan berhidung mancung. Jika ada seseorang yang memiliki citra diri yang berbeda dengan konsep sempurna, maka akan dianggap lelucon dan menjadi target celaan.

Sejumlah faktor mendorong seseorang melakukan body shaming kepada orang lain. Faktor tersebut antara lain pelaku senang karena saat melakukan body shaming orang lain akan ikut tertawa. Timbulnya perasaan senang ketika melihat orang lain susah atau sedih. Body shaming bisa terjadi karena motif balas dendam. Bukan tidak mungkin pelaku body shaming pernah mendapat perlakuan serupa di masa lalunya.
Ketika mereka menganggap kondisinya mulai diterima lingkungan, mereka cenderung melakukan hal serupa kepada orang lain. Ia akan kembali melakukan body shaming kepada pihak lain. Psikolog Rena Masri mengungkapkan jika pelaku body shaming melakukan hal tersebut karena ingin meluapkan kemarahannya di masa lalu.
“Body shaming mirip dengan bullying di sekolah. Awalnya dia korban, akhirnya menjadi pelaku,” tutur Rena.
Berbeda dengan bullying yang biasa dilakukan oleh peer group, body shaming bisa dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada lebih muda. Tak jarang, body shaming dilakukan oleh orang tua korban.
“Sebagian orang tua juga mungkin secara tidak sadar melakukan body shaming terhadap anaknya. Misalnya dengan bilang kamu kok hitam banget sih nak, kumal atau haduh kamu gendut sih jadi susah cari baju buat kamu,” papar Rena.
Bisa jadi karena terbiasa mendapat body shaming di lingkungannya, anak berpikir bahwa hal tersebut dapat diterima. Mereka akan cenderung menerima apa yang dilihat di lingkungan sekitar. Sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan menjadi pelaku body shaming terhadap orang lain.

Body shaming dapat terjadi apabila pelaku merasa tiodak nyaman dengan bentuk tubuhnya sendiri. “Mereka yang merasa dirinya tidak sempurna akan senang jika ada orang lain yang juga memiliki kekurangan sehinga ia melakukan body shaming,”jelas Rena.
Meski terkesan sepele, body shaming dapat menyebabkan citra diri mejadi negatif. Tanpa disadari korban body shaming merasa diri mereka tidak berharga. Celakanya dapat mengarah pada stres dan depresi. Orang yang menjadi korban body shaming cenderung melakukan berbagai cara agar bisa diterima. “Tuntutan ingin diterima membuat korban mengalami gangguan bulimia ataupun anorexia nervosa,” tambahnya.
Demi meminimalisir perlakuan body shaming, orang tua harus berperan. Ajarkan pada anak bahwa setiap orang menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jika kita yang menjadi korban body shaming, katakan bahwa kita nyaman dengan kekurangan tubuh kita dan itu bukanlah menjadi masalah besar. (avia)
Bagikan
Berita Terkait
Apa Itu Body Shaming? Dampak dan Cara Menghadapinya untuk Kesehatan Mental
