Beralih Jadi Tabib Hingga Kucing-Kucingan Berlatih, Sejarah Awal Perkembangan Seni Bela Diri Tionghoa


Lo Ban Teng berpose bersama para kerabat.
KAISAR Xiaowen (471-499 M), Dinasti Wei Utara, menginisiasi pendirian kuil Shaolin khusus bagi seorang Bhikkhu asal India bernama Batuo atau Fotuo (Buddhabhadra). Sang kaisar menunjuk satu lokasi paling pas secara letak geografis.
Kuil Shaolin, seturut Daoxuan pada Continued Biographies of Eminent Monks, dibangun di sisi utara Shaosi, atau di tengah-tengah puncak gunung Song, salah satu pegunungan suci di Tiongkok, pada tahun 477 M.
Pendirian kuil tersebut merupakan bentuk penghormatan Kaisar Xiaowen kepada Batuo, seorang ahli Dhyana asal India nan datang ke Tiongkok pada 464 untuk menyebarkan ajaran Buddha. Kala itu, di masa Dinasti Wen Utara sedang terjadi perubahan besar di ranah sosial dan budaya, termasuk secara terbuka menerima ajaran agama baru, termasuk Buddha.
Batuo lantas menjadi pemimpin Shaolin pertama dan langsung memulai kegiatan kebiksuannya. Dia mulai melihat gelagat tak beres pada murid-murid Shaolin. “Murid-murid itu fisiknya sangat lemah. Batuo kemudian mengajarkan keahlian seni bela diri kepada mereka,” ungkap Yudhistira Edhyanto Zhang, Ketua Harian Federasi Kungfu Indonesia kepada merahputih.com.
Mereka mulai berlatih gerakan-gerakan dasar hingga jurus-jurus. Mula-mula, seturut Yudhistira, juga seorang senior di PGB Bangau Putih, gerakan seni bela diri di Shaolin sekadar kebutuhan untuk melatih kekuatan fisik para murid-murid Shaolin, namun kemudian berkembang menjadi ajaran bahkan gerakan militer. “Dari Shaolin itulah kemudian berkembang seni bela diri Tiongkok, dan kemudian muncul berbagai aliran”, kata Yudhistira.
Tak heran pada masa Dinasti Tang, Kaisar Tang Taizhong (Li Shimin) mengangkat satu di antara 13 pendekar Shaolin menjadi jendral, karena berjasa pernah membantu pertempuran dengan mengerahkan sepasukan Shaolin nan mahir memainkan tongkat.
Selain Shaolin (Siauw Lim), terdapat satu episentrum besar lain perkembangan seni bela diri di Tiongkok. Dimulai pada masa Dinasti Song Utara dengan membangun Wudang Shan beraliran Tao di gunung Wudang, Provinsi Hubei, Tiongkok. Di sana merupakan tempat suci para pendeta Tao.
Zhang Sanfeng merupakan salah satu sosok penting bagi perkembangan seni bela diri di Wudang (Butong pada bahasa Hokkian). Dia seorang praktisi Toaisme aliran Yuanshi, kemudian mengembangkan Wushu Wudang, dengan tiga filosofi dasar, menyangkut pengetahuan struktur tubuh manusia (renti kexue), mengenai kesehatan dan umur panjang (shengmin kexue), dan seni serta taktik bela diri (chusi kexue).
Dalam perkembangannya, muncul dan berkembang beragam ilmu-ilmu serta aliran di Shaolin dan Wudang, serta di berbagai tempat lain di Tiongkok. Perang, perkelahian, perburuan, hingga revolusi besar membuat para pendekar-pendekar berbagai aliran di Tiongkok bermigrsi ke berbagai tempat, termasuk Nusantara.
Menginjakan Kaki di Nusantara
Mula-mula para pendekar, entah datang ke Nusantara lantaran arus besar migrasi, atau memang diburu karena kasus perkelahian, bahkan karena masalah politik, tak pernah secara gamblang mengajarkan bahkan membentuk perguruan seni bela diri. Kemampuan bela diri mereka muncul dengan beragam pula alasan.
Semisal Kapitan Sepanjang, seorang Singkek, memimpin serangan balik ke markas-markas serdadu VOC, seusai terjadi penangkapan besar-besar orang Tionghoa di Batavia berujung pembantaian masal pada 1740. Perjuangan Sepanjang mendapat simpati pendekar lain di belahan Nusantara lain, Lasem.
Di Lasem, Oei Ing Kiat dan Tan Kee Wie, dibantu putra Adipati Lasem, Raden Panji Margono, melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap pasukan VOC. Perlawanan tersebut membentuk sebuah aliansi perjuangan Tionghoa-Jawa.
Seusai Perang Sepanjang berkobar, VOC kemudian Pemerintah Belanda, sangat mencurigai para pendekar-pendekar Tionghoa. Belanda mengharamkan para pendekar melakukan latihan bela diri apalagi membuka perguruan.
Para pendekar, semisal Louw Djeng Tie, kemudian beralih menjadi tabib atau sinshe untuk mengobati orang sakit. Dia menginjakan kaki di Nusantara, sebelum sempat singgah di Singapura, karena membunuh lawan tandingnya pada sebuah kontes adu keahlian (lei tai) di Tiongkok.
Sebagian pendekar lain, terutama penerus aliran dan telah terikat sumpah, bersikukuh tetap mempelajari seni bela diri, meski berlangsung di ruang-ruang rapat nan tersembunyi. “Mungkin kita pernah mendengar dari para orang tua kita bahwa sebelum dan setelah selesai latihan selalu disarankan untuk datang dan pergi secara berdua-berdua. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kecurigaan masyarakat sekitar akan adanya prakti latihan bela diri di lokasi tersebut,” tulis Alex Cheung dkk, pada Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia.
Maka tak heran bila ada jurus-jurus bahkan aliran bela diri Tionghoa menghilang tanpa pernah diajarkan kepada generasi penerus. (*)