Benarkah Jenderal Korban Tragedi 1965 Dicungkil Mata dan Dipotong Kelaminnya?

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Senin, 30 September 2019
Benarkah Jenderal Korban Tragedi 1965 Dicungkil Mata dan Dipotong Kelaminnya?

Sukarelawati Ganyang Malaysia di Lapangan Banteng. (Foto: Life)

Ukuran:
14
Font:
Audio:

DUA belas hari usai penculikan para jenderal aktif TNI AD, tepatnya 12 Oktober 1965, masyarakat beramai-ramai mendatangai kantor-kantor Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Massa terbakar rumor tentang aksi keji anggota organisasi perempuan afiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama tekait pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin para jenderal. Mereka melampiaskan kemarahan dengan merusak dan membakar kantor-kantor Gerwani di beberapa tempat.

Isu itu menjalar dari mulut ke mulut berdasar berita dua surat kabar terbitan Dinas Penerangan Angkatan Darat, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Berita-berita kekejian Gerwani, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca-Kejatuhan PKI, dipasok dua koran militer itu antara 1 Oktober sampai bulan-bulan pertama tahun 1966, sebagai kampanye fitnah tentang keterlibatan para anggota Gerwani di Lubang Buaya.

Sebelum memberitakan tentang aksi pencungkilan mata dan pemotongan kelamin, dua koran itu mula-mula menerbitkan cerita tentang tindakan cabul para perempuan anggota Gerwani di Lubang Buaya. Setelah ditangkap, menurut berita Angkatan Bersendjata, 11 Oktober 1965, para penculik Letnan Tendean nan semula dianggap sebagai Jenderal Nasution, diserahkan kepada sukarewalan Gerwani. Tendean dengan kaki dan tanggan diikat, lanjutnya, dijadikan permainan cabul anggota Gerwani. "Para sukarelawan Gerwani telah mempermainkan para jenderal dengan menarik kemaluan mereka dan mereka gosok-gosokan ke vagina mereka sendiri".

Sementara, Berita Yudha Minggu, di hari serupa, bahkan melaporkan anggota Gerwani telah memutilasi para jenderal di Lubang Buaya sebelum dimasukan ke sumur. "Matanya dicungkil, beberapa jenderal penisnya dipotong". Berkembang isu pula, sesaat sebelum para jenazah di masukan ke sumur, para anggota Gerwani sempat menari-nari tarian erotis Harum Bunga. Berbekal dua berita sensasional tersebut, esoknya massa kemudian tepancing untuk menghancurkan kantor Gerwani. Massa membakar kantor sembari berteriak “bubarkan PKI, Hidup Bung Karno!” tulis harian Angkatan Bersendjata, 13 Oktober 1965.

Memang benar terdapat sejumlah anggota Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI, dan Gerwani di Lubang Buaya. Mereka hadir untuk menjadi sukarelawan dan sukarelawati aksi Ganyang Malaysia. Saat itu hubungan Indonesia dan Malaysia sedang memanas. Perseteruan itu bermula dari penolakan Indonesia dengan terbentuknya Federasi Malaysia. Pada 16 September 1963, Inggris dan pemerintah Malaka bersepakat melahirkan Federasi Malaysia, dengan daerah cakupan Malaka, Singapura, Sabah, dan Serawak. Presiden Sukarno tentu tidak setuju dengan Federasi Malaysia lantaran membangkitkan neokolonialisme.

gerwani
Demonstrasi Gerwani. (Foto: gahetna.nl)

Sukarno lantas menentang dan menggelorakan gerakan Ganyang Malaysia. Bung Besar mengumumkan bagi setiap warga negara berpartisipasi untuk menjadi sukarelawan dan sukarelawati. Pengumuman itu langsung diwujudkan beberapa organisasi dengan menggelar latihan pada para sukarelawan. Gerwani sejatinya telah memiliki tempat latihan di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Kehadiran mereka di Lubang Buaya sekadar membantu membuka dapur umum untuk keperluan konsumsi.

Meski begitu, masyarakat kadung percaya berita-berita di dua surat kabar militer. Pihak militer pun langsung memburu anggota Gerwani, baik ikut maupun itdak hadir di Lubang Buaya. Mereka ditangkap, disiksa, dan disuruh mengakui segala pebuatan keji terhadap para jenderal.

Celah untuk mengecek kebenaran beritu sesungguhnya telah tersaji di berkas visum et repertum jenazah para jenderal. Panglima Kostrad Mayjend Soeharto memerintahkan pembentukan tim forensik dan tebentuk tim doket pada 4 Oktober 1965, beranggotakan dua dokter Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dr. Brigjen Roebiono Kertapati dan dr. Kolonel Frans Pattiasina, serta tiga dokter sipil spesialisasi forensik medis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), terdiri dari dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay.

Publik tak pernah tahu isi hasil forensik tim dokter tersebut. Baru pada April 1987, masyarakat Indonesia beroleh hasil visum et repertum para jenderal, setelah Indonesianis Benedict Anderson asal Cornell University, melakukan penelitian peristiwa G30S dan menemukan forensik medis enam jenderal dan satu letnan muda pada lampiran laporan stenografi pengadilan Letkol Penerbangan Heru Atmodjo di hadapan Mahkamah Militer Luar Biasa.

Ben, sapaan akrab Benedict Anderson, kemudian menerbitkannya pada publikasi bertajuk “How Did The Generals Die” terbit di jurnal Indonesia, April 1987. Laporan itu menyebut secar rinci penyebab kematian dan detail luka masing-masing jenazah.

Dari hasil visum et repertum tersebut, tidak ditemukan laporan mengenai luka pada bagian testis, anus, testis, mata, kuku, telinga, dan lidah. “Kami sampai waswas karena setelah selesai memeriksa, kami tidak menemukan penis dipotong,” ungkap dr. Lim Joe Thay (Arif Budianto) dalam “Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi,” dimuat majalah D&R, 3 Oktober 1998.

“Kami periksa penis-penis korban dengan teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada,” pungkas dr. Lim. (*)

#Peristiwa 1965
Bagikan

Berita Terkait

Bagikan