Bakmi Jowo, Mie Oriental Bercitarasa Jawa


Mie khas oriental yang bercitarasa Jawa. (Foto: foody)
DI Indonesia tentunya sudah sangat mengenal berbagai macam mie atau mi, bahan makanan asal negeri Tiongkok yang populer dalam beragam bentuk masakan.
Konsep yang sama dapat kita telusuri dalam coretan sejarah kehadiran bangsa Tiongkok dalam rangka perdagangan dan migrasi ke Nusantara. Tak pelak turut ada di dalamnya pengaruh di tempat mereka memulai hidup baru, yang sudah tentu salah satunya adalah bahan makanan dan olahannya.
Karena sifatnya seperti bahan karbohidrat lainnya yang netral, tentunya mudah untuk mengolah mie dan menggabungkannya dengan banyak pilihan lauk pauk yang sesuai dengan selera lokal.

Di Jawa Tengah, proses akulturasi rasa dalam hidangan mie ini terjadi secara alamiah dan melahirkan sebuah hidangan regional yang khas. Bahan dan bumbu asing yang sebelumnya dibawa untuk mengakomodir selera asal. Kemudian bertemu dengan beberapa bahan lokal yang membentuk sebuah harmoni rasa baru demi mengakomodir selera lokal.
Bakmi yang secara harafiah berarti mie yang disajikan dengan daging, dimasak dengan campuran kemiri, kacang mete, kaldu dan daging ayam kampung, bawang putih, telur bebek, dan kecap manis (untuk versi goreng), ternyata menyuguhkan aroma dan rasa yang sangat ‘nggak Tiongkok’.
Tengok Gagrak dari Gunung Kidul, Yogyakarta, yang banyak menerbitkan legenda-legenda bakmi Jowo yang tersebar di area Solo-Jogja. Presiden ke-2 RI, Soeharto, pernah disebutkan sangat menggemari hidangan ini dan menjadi langganan setia Bakmi Jowo Pak Harjo Geno di Pasar Prawirotaman yang masih ada sampai sekarang. Semantara Bakmi Kadin menjadi langganan hadir di Istana setiap acara di masa mantan presiden SBY.

Goreng, Nyemek dan Godhog
Bakmi Jowo hadir dalam 3 varian dasar, goreng, nyemek, dan godhog. Bakmi goreng hadir dengan bentuk paling ‘kering’ dan berwarna gelap akibat penggunaan kecap manis. Menurut beberapa orang bakmi goreng ini sebenarnya bukan digoreng melainkan ditumis.
Bakmi godhog atau rebus, hadir dengan kuah kuning dan menggunakan kaldu ayam sebagai bahan dasarnya. Sementara varian nyemek atau basah adalah varian gabungan kedua sifat di atas. Bakmi nyemek adalah bakmi godhog dengan proses tumis seperti bakmi goreng, hanya saja minus kecap manis di akhir, sehingga menghasilkan kuah kental cenderung kering yang sangat terkonsentrasi.

Saya sendiri adalah penggemar berat Bakmi Mbah Mo, yang berjualan di Desa Code, Bantul. Jauhnya minta ampun, tetapi jarak akan terbayar lunas ketika sepiring bakmi nyemek hadir di hadapan. Aroma telur bebek tumis yang dimasak bersamaan dengan kaldu ayam kental, dengan nuttiness dari kemiri dan kacang mede, diselingi bawang goreng dan irisan seledri segar, sungguh cukup manjur untuk mulai memikirkan porsi kedua! Tidak lupa dengan cabe rawit dan acar sebagai pelengkap. Ronde kedua dengan sepiring bakmi godhog, menyuguhkan rasa keseluruhan lebih ringan ini pun ludes tak bersisa.
Hidangan ini tergolong sangat sederhana bila dibandingkan dengan saudara tuanya seperti mie goreng hokkian atau mie goreng kanton. Tetapi kesederhanaan itu sendirilah yang menciptakan rasa yang mudah diterima oleh banyak kalangan, rasa ndeso, yang ngangeni. (marchellinus)