Auw Tjoei Lan, Ibu Bagi Segala Anak Terlantar


Auw Tjoei Lan menyalami Ibu Fatmawati, Istri Presiden Soekarno, pada perayaan emas Hati Suci. (dokumen keluarga Auw Tjoei Lan)
SUARA tangis bayi memecah keheningan pagi buta di sebuah rumah Jalan Tritayasa II No. 8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Oek.. oek.. oek”. Penghuni rumah tergugah. Mereka bangun lalu mencari muasal suara tangisan.
Penghuni rumah berpencar. Munah, asisten rumah tangga berjalan keluar memeriksa pekarangan depan. Semakin dekat, suara tangis semakin kencang. Tepat di bawah pohon cemara, Munah melihat bebatan kain bergoyang kian kemari.
Dia mendekat lalu membuka bebatan kain. Sesosok bayi merah tampak meraung-raung kehausan. Munah sempat melongok, ke kiri-kanan. Tapi, jalanan melompong sepi. Perempuan senja berusia 60 tahun tersebut lalu memboyong sang bayi ke rumah utama.
“Ada bayi,” terang Munah sembari menunjukkan bebatan kain kepada empunya rumah, Nyonya Lie. Sang bayi tak henti menangis. Nyonya Lie langsung meminta Munah memandikan sang bayi, dan memberikan susu.
Sementara sang bayi dimandikan, Nyonya Lie masuk ke kamar memilah-milah kain kepunyaannya. Dia lalu memotong kain menjadi beberapa bagian. Kain itu lalu digunakan untuk membalut bayi malang tersebut.
Nyonya Lie menimang sang bayi. Dia tak canggung. Padahal asal-usul si bayi tak jelas. Sang bayi bahkan langsung dianggapnya bagian keluarga.
“Ini adik kalian,” ujar Nyonya Lie kepada cucunya, Siong Nio. Dia meminta kepada Siong Nio menganggap bayi tersebut sebagai saudara. Tak ada beda. “Sedangkan kepada anak-anak dan mantunya dia menggunakan istilah ‘anak’ untuk bayi yang baru dipungutnya,” tulis A. Bobby Pr, dalam Nyonya Lie Tjian Tjoen, Mendahului Sang Waktu.
Kejadian penemuan bayi itu bukan kasus pertama bagi Nyonya Lie atau Auw Tjoei Lan. Bermacam cerita dan kejutan sering terjadi. Mulai, para bayi ditinggal begitu saja di pekarangan rumahnya, maupun orang tuanya datang langsung untuk memberikan sang buah hatinya kepada Nyonya Lie.
Auw Tjoei Lan kemudian merawat para bayi-bayi malang tersebut di rumahnya. Setelah cukup sehat, lalu dipindahkan ke rumah piatu Ati Soetji (Hati Suci, kini).
Sejak penemuan bayi kali pertama saat dia menetap di Jalan Gunung Sahari, impian membuat ruamh piatu mulai terbentuk. Dari relasi suaminya, Kapitan Lie Tjian Tjoen, Nyonya Graaf van Limburg Stirum, istri Gubernur Jendral Graaf van Limburg Stirum, mendukung gagasannya.
Dengan bantuan berbagai pihak, Auw Tjoei Lan mendapat dana sebesar 700 gulden. Dana tersebut dia gunakan untuk menyewa rumah di Kampung Bali Tanah Abang. Rumah Piatu Hati Suci atau di kalangan orang Tionghoa disebut Po Liang Kok (tempat pelindung untuk menjaga kebajikan), pun berdiri. Saban hari, Tjoi Lan mendapat bantuan Zuster Gunning, dr Zigman, dan dr Broeke.
Perlindungan, asupan gizi, dan pendidika anak asuh di Hati Suci sangat diperhatikan. Auw Tjoei Lan datang saban hari memeriksa. Anak asuhnya kemudian akan disekolahkan ke sekolah dasar, dan berlanjut ke sekolah lanjutan. Hubungan anak asuh dengan Tjoei Lan pun terjalin erat.
Setiap anak asuh bebas memilih pasangan untuk menikah. Tapi, pihak panti harus memastikan kejelasan asal-usul sang suami. Lelaki dengan predikat buruk mentah ditolak.
Saat masa pendudukan Jepang, suami Auw Tjoei Lan ditangkap. Dia pun sempat dicuragai dan ditahan selama beberapa hari. Keuangan keluarga menurun. Lebih parah, karena semua direktur Hati Suci berkebangsaan Belanda turut ditahan, sementara anak asuh disuruh bubar. Mereka pun tercerai berai.
Dengan keadaan seperti itu, menurut Bobby, Auw Tjoei Lan dengan berani mendatangi markas Jepang untuk menjelaskan keadaan dan kegiatan Hati Suci. Akhirnya pihak Jepang sepakat Hati Suci tetap beroperasi. (*)