Ampuhkah Unggahan Kemesraan Jadi Syarat Permintaan Maaf Akibat Micro Cheating?


Kurt Cobain dan Courtney Love. (Foto: Biography)
LIA Hapsari tiba seorang diri di acara halalbihalal lingkar kecil pertemanannya. Ia langsung mengambil kursi di tengah, mengucap maaf lahir dan batin kepada ketiga temannya, lalu mematikan ponsel. Meski ketiga temannya mengernyit dahi, tak satu pun berani bertanya mengapa 'ratu posting' offline.
Baca juga:
Di ujung perbincangan seputar lebaran, ia akhirnya mengaku hubungan dengan pacarnya sedang renggang. "Ternyata sering ngelike postingan mantannya," kata Lia menjelaskan permasalahannya. Ketiga temannya langsung menarik kursi mendekat meja, pasang kuping.
Kegemaran kekasihnya sering menyukai unggahan mantan, menurut Lia, baru disadari saat muncul rasa penasaran mengapa di lebaran kemarin enggak ada satu pun feed apalagi unggahan tentang vibe Idulfitri berdua di Instagram sang kekasih padahal sempat bertemu di hari kedua.
Ia melanjutkan rasa penasaran, melihat ulang ragam unggahan, feed terakhir, sampai hal-hal apa saja sering ditekan tombol like. "Enggak ada satu pun foto berdua dong". Jika dibandingkan, lanjutnya, isi unggahan Instagramnya banyak memuat momen kebahagiaan bareng sang pacar sembari mentag akunnya. "Jangan-jangan emang udah enggak sayang lagi sama gue?". Ketiga temannya pun kontan mendekat, lalu memeluknya erat.

Di era kontemporer, media sosial menjadi salah satu bentuk validasi kuat dan penting bagi orang pacaran. Ketika dua insan sedang menjalin kasih, rasanya wajib banget untuk unggah foto berduaan dengan pacar, lengkap dengan caption romantis dan puitis agar hubungannya terlihat harmonis, bahagia, dan jadi relationship goals.
Dilansir Rewire.org, penelitian dari Pew Research Center menyimpulkan 45% pengguna internet berusia 18 - 29 tahun berstaus berpacaran serius menganggap internet telah memiliki dampak sangat besar dalam hubungan asmara, termasuk menggunakan Instagram sebagai unofficial status marker. Tak mengherankan bila akhirnya ketidakseimbangan unggahan di antara kedua pasangan bisa memicu pertikaian hebat.
Entah ingin menjaga privasi atau menjaga hati orang lain, terkadang ada orang tidak pernah mempublikasikan kekasihnya, padahal pasangannya rajin banget upload berduaan, baik dipajang di feeds maupun dimasukkan ke instastory. Bahkan, ada orang sengaja hide story agar teman-temannya enggak melihat jika ia sedang jalan dengan pacarnya.
Kecenderungan tersebut sering membuat pasangan tidak pernah di-publish menjadi wondering merasa kecil hati dan was-was tentang kekurangan dirinya jika sampai di momen berharga seperti lebaran enggak ada satu pun unggahan berdua di media sosialnya.

Di sisi lain, kebiasan pasangan menyukai foto perempuan lain, menurut Dr Martin Graff, Psikolog University of Sout Wales, dikutip southwales.ac.uk, disebut dengan istilah micro cheating atau selingkuh kecil sebagai tindakan ketidakjujuran pasangan di dunia maya. "Hal belakangan sering disebut micro cheating memang menjadi area abu-abu antara perilaku menggoda dan tidak setia," tulis Graff.
Dari penelitiannya, diketahui secara konsisten perempuan dari segi emosional lebih terpengaruh aksi micro cheating ketimbang lelaki. Micro cheating selain membuat kepercayaan menjadi memudar, juga menimbulkan kecanduan bagi pelakunya. Fenomena keretakan hubungan pasangan lantaran media sosial akibat micro cheating atau ketidakbijakan penggunaan media sosial memang menjadi fenomena global.
Di Indonesia, menilik catatan Pengadilan Agama Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu, pada tahun 2018 terdapat 447 kasus perceraian sebagian besar dipicu ketidakbijakan penggunaan media sosial.
Dari gambaran tersebut, tidak aneh bila curahan hati Lia Hapsari merupakan permasalahan penting bagi hubungannya. Dibutuhkan jalan keluar ekstra agar hubungan kembali rekat. Meminta syarat agar permintaan maaf disepakati juga bisa menjadi solusi. Syarat tentu bukan ingin membuat repot hubungan, melainkan alat ukur kesungguhan perbaikan terhadap komitmen dan keseriusan dalam berhubungan.
Meski beberapa syarat sering dianggap toxic dan lebay bagi sebagian orang, validasi di media sosial bisa dianggap sebagai penghargaan penting perasaan pasangan dan rasa saling menghargai.
Baca juga:
aclyn Cravens-Pickens, terapis pernikahan dan keluarga, dikutip Cosmopolitan, menekankan internet adalah faktor esensial dalam percintaan di era kontemporer. Sang asisten profesor dan program director Addictive Disorders Recovery Studies (ADRS) Texas Tech University tersebut menyatakan perilaku pasangan tidak mau mempublikasikan pasangan di media sosial sangat bisa dianggap sebagai tanda bahaya.
"Jika kita melihat hal-hal seperti menolak untuk menerima friend requests atau follow requests di media sosial, tidak mengizinkan informasi hubungan percintaan untuk diunggah di akunnya, atau tidak menampilkan status hubungan sesuai dengan kenyataan di media sosial, rasanya mungkin sudah menjadi warning sign serius," ungkapnya kepada Cosmopolitan.
Memamerkan kemesaraan dengan pasangan memang bukan hal baru. Remaja di era 80 dan 90-an, menurut Dr Cravens-Pickens, biasanya menunjukkan hubungan sudah official dengan cara menggunakan gelang couple dan bertukar jaket kemudian menggunakannya di sekolah, daan ketika hubungan percintaan berakhir, akan membakar surat-surat atau foto polaroid mereka.
Sekarang media sosial memang paling well-used, sehingga tanda putus bisa dilakukan dengan menghapus post dengan sang mantan di media sosial.

Tampaknya, unggahan kebersamaan secara online dianggap sebagai milestone in its own rite di hubungan romantis modern. Di sisi lain, ada juga pasangan tetap berbahagia dan memutuskan untuk tidak mengunggah satu sama lain di media sosial mereka.
Di ujung pertmua Lia dengan lingkar pertemanannya, dikeluarkan semacam keputusan penting akan memaafkan pacarnya asalkan membuka hubungan mereka di dunia maya dengan cara mengunggah foto berdua, story bersama, atau bisa juga memilih keterangan status telah berpasangan di bio. (SHN)