Ambillah Tumpeng dari Bawah, Bukan Potong Puncaknya


Memotong bagian atas menyalahi filosofi tumpeng. (Foto: Pixabay)
KALA menghadiri syukuran sebuah perusahaan atau perayaan ulang tahun seorang teman, Anda pasti kerap melihat prosesi pemotongan tumpeng dari puncaknya. Cara ini sebenarnya menyalahi filosofi tumpeng. Nasi tumpeng seharusnya diambil dari bagian bawah.
Tumpeng memiliki bentuk kerucut layaknya sebuah gunung yang besar. Menurut Chef Wira Hardiansyah, masyarakat pada zaman dahulu percaya puncak nasi tumpeng sebagai simbol tempat Tuhan. Semakin ke bawah menyimbolkan umat manusia.
"Segitiga (atau kerucut) itu dari manusia kepada Ilahi. Berarti motong doa kepada Ilahi jika mengambilnya dari atas," terang Chef Wira kepada Merahputih.com saat ditemui di Workshop Tumpeng di Festival Ragam Nusantara, Kota Tua, Jakarta.
Jadi, jika pengambilan nasi dimulai dari bagian atas tumpeng, doa kepada Tuhan akan terhenti. "Berkah ini persembahan kepada Tuhan. Jadi memotong doa berkah kepada Ilahi," tambahnya.
Cara mengambil tumpeng yang benar adalah mengeruknya dari bagian bawah, bukan atas. Walaupun tumpukan nasi tumpeng akan hancur hingga tak terlihat indah lagi, tapi Anda tidak memotong doa.
"Setelah makanan ini didoakan, kita ngumpul mengelilingi. Makan dari bawah. Jangan dari atas, itu kan Tuhan. Jadi kalau dari bawah tetap ambruk, artinya kehendak Tuhan, berkah Tuhan. Ini kepercayaan orang dulu. Sebelum Hindu masuk," pungkasnya.
Lantas, dari manakah datangnya kebiasaan memotong bagian atas tumpeng? Itu merupakan pengaruh budaya Barat, yakni memotong kue. Jika ingin sesuai dengan filosofi, mulai sekarang ambillah tumpeng dari bagian bawah, bukan dengan memotong bagian atasnya seperti saat memotong kue. (Ikh)
Anda juga dapat menyimak filosofi tumpeng pada artikel Makna Hidup di Balik Filosofi Tumpeng Bu Djuminten.