Peristiwa Konflik Taruna dan Mahasiswa, Picu Demonstrasi Besar di Kota Yogyakarta

Rabu, 02 Maret 2022 - P Suryo R

TAHUN 1969 Indonesia masih hangat dengan gonjang-ganjing politik akibat Gerakan 30 September 1965. Faktor ekonomi dan stabilitas politik masih menjadi kendala di dalam masyarakat. Dilansir dari laman 123dok bahwa dampak sosiologi yang menyimpan potensi konflik diakibatkan dari latar belakang kondisi perkuliahan dan pengajaran, lalu munculnya tangsi-tangsi militer di kota Yogayakarta, pun dengan sendi-sendi dalam masyarakat


Tanggal 2 Maret 1969 terjadi konflik antara taruna Angkatan Udara (AU) dengan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Peristiwa berawal dari dua mahasiswa Fakultas Teknik UGM, Suparjana dan Sajono, yang mengolok-olok taruna AU di depan Gedung Senisono Yogyakarta. Identitas kedua taruna yang diolok-olok Sersan Mayor Udara Karbol Senior (SMUKS) Agus Armanto dan Tukiran Toyib. Para taruna AU itu kemudian meminta kartu identitas diri para mahasiswa. Ternyata masih ada kejadian lanjutan, para taruna yang sudah balik ke kamp lalu mendatangi rumah dan mengambil dua mahasiwa.

Kejadian itu sempat diungkap Marsekal Pertama Nanok Soeratno dalam buku Kisah Sejati Prajurit Paskhas yang ditulis Beny Adrian. Nanok yang saat itu taruna tingkat IV menceritakan, dua taruna itu naik becak dengan pasangannya masing-masing menuju gedung Seni Sono untuk menonton pameran bunga. Setelah sampai di sana para taruna hendak membayar becaknya masing-masing, namun ditolak oleh teman perempuannya. Menurut merekalah yang mengajak dua taruna itu dan sudah sewajarnya dua perempuan itu membayari becak. Pada saat bersamaan melintas dua pemuda yang mengejek para taruna dengan berkata, kalau karbol tidak punya uang. Di sinilah terjadi percikan konflik itu.

Baca Juga:

72 Tahun yang Lalu Universitas Indonesia Memulai Perkuliahannya

Nanok mengisahkan saat menemui dua mahasiswa itu ada ada taruna yang menghadiahi bogem mentah karena kesal. Salah seorang taruna lalu menantang dua pemuda duel satu lawan satu agar tak disebut mengeroyok. Tantangan ini ditolak dua pemuda tersebut. Karena tak ada titik temu, Nanok dalam buku itu menyebutkan, dua pemuda itu dipulangkan ke tempat semula.

Berita soal pemukulan ini cepat didengar Gubernur AKABRI bagian Udara (AAU) kala itu Komodor Rusman yang kaget dan marah. Rusman menganggap aksi para karbol ini bukanlah sikap seorang prajurit dan calon perwira. Semua karbol yang terlibat aksi itu dipanggil dan dihukum menjalani pendidikan taruna ke Bandung dan Jakarta dengan pengawasan ketat.

Setelah peristiwa pemukulan itu, organisasi di tingkat fakultas berkoordinasi dengan tingkat universitas dikoordinir DEMA (Dewan Mahasiswa), meminta saran dari dosen-dosen dan menghadap rektor Soeroso H. Prawirohardjo. Kadema Fakultas Teknik juga menghadap Komodor Rusman, pada 14 April 1969. Rusman segera menelepon Rektor UGM Suroso untuk meminta maaf. Dia juga memfasilitasi perdamaian antar kedua pihak. Akhirnya SMUKS Rudi Basri dan SMUKS Agus Armanto dipertemukan dengan kedua pemuda tadi di UGM. Keduanya pun berdamai dan janji tak akan mengulangi perbuatan tercela itu.

yogya
Di depan gedung Senisono awal konflik terjadi. (Foto: starjogja0

Namun, Rusman akhirnya tidak memecat para taruna lain yang terlibat. Karena dianggap lamban merespons situasi. DEMA Fakultas Teknik UGM membuat pernyataan pers yang dimuat di surat kabar-surat kabar Yogyakarta. Pihak AKABRI kemudian mengundang para wartawan surat kabar yang berada di Yogyakarta.

Dari surat kabar Mertju Suar, bertanggal 8 Mei 1969 melansir, DEMA Fakultas Teknik UGM menganggap jawaban Komodor Rusman tidak memuaskan. Akhirnya, mahasiswa UGM yang disokong oleh GMNI dan HMI, berkumpul di Alun-alun pada 10 Mei 1969, tercatat sekitar 15 ribu orang hadir kala itu. Karena negara masih dalam keadaan darurat, maka aksi mahasiswa ini kemudian dibubarkan Komando Resort Militer (Korem) 072 Yogyakarta.

Penyelesaian yang ditempuh oleh para mahasiswa hingga ke tingkat pusat yang mengarahkan untuk melakukan penyelesaian di daerah. Kemudian dilakukan penyelesaian konflik secara kekeluargaan di Gedung Agung. Sayangnya penyelesaian itu mengakibatkan peran DEMA yang dihilangkan dari kampus UGM. (psr)

Baca Juga:

Rayakan Imlek 2017, Warga Solo Pecahkan Rekor Muri Kaligrafi Aksara

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan