Mengenal Sejarah Seni Wacinwa: Wayang Kulit Cina-Jawa

Minggu, 27 Agustus 2017 - Thomas Kukuh

DENTING suara gamelan beriring suara sinden mengalun. Dalang mencabut kayon di tengah kelir, tanda pertunjukan wayang kulit dimulai. Satu per satu tokoh wayang muncul mengisi lakon. Tapi, tak ada sosok Arjuna, Kunthi, Bima, dan tokoh wayang kulit Jawa pada cerita Mahabharata.

Penampakan wayang sangat berbeda. Bukan mengambil anggitan atau gaya Yogya maupun Solo, melainkan gambaran para panglima, raja, dan penasehat dengan wajah mirip topeng Tiongkok.

Wayang Kulit Cina-Jawa (Wacinwa), begitulah sebutan untuk pertunjukan padu-padan wayang kulit Jawa dengan unsur cerita klasik Tiongkok.

“Wacinwa hadir sebagai jembatan dua budaya dengan sejarah panjang seni pertunjukan Tiongkok dan wayang kulit Jawa. Persilangan dua budaya itu saling mengisi dan meresapi,” ungkap Dwi Woro Retno Mastuti, peneliti budaya Peranakan Tionghoa-Jawa beberapa waktu lalu.

Pada sejarah seni pertunjukan Tiongkok, menurut Woro Mastuti, terdapat pertunjukan wayang menggunakan cerita klasik Tiongkok dengan sebutan Piyingxi, dan sangat di masa dinasti Song (960-1278 M) hingga mencapai puncak kejayaan di masa dinasti Qing (1644-1911). Pertunjukan Piyingxi berangsur surut ketika revolusi bergema di Tiongkok.

Migrasi orang Tiongkok ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara, khususnya Jawa dan meski telah menikah dengan orang setempat serta hidup bertahun-tahun, tak juga mampu membendung kerinduan terhadap kesenian dan kesusastraan tanah kelahirannya leluhurnya, Tiongkok.

Gan Thawn Sing, seorang peranakan Tionghoa kelahiran Jatinom, Klaten, Jawa Tengah pada 1885 mengalami nasib serupa. Dia mencoba mencari akar budaya Tiongkok, seperti belajar aksara dan bahasa Tiongkok kepada sang kakek Gan Ing Kwat, namun pada keseharian bergaul dengan oran Jawa serta mengakrabi kesenian Jawa.

“Dari pergaulan dengan penduduk Jawa, muncul kecintaan Gan Thawn Sing dengan pertunjukan wayang kulit Jawa,” ungkap Woro Mastuti.

Gan Thawn Sing mulai mendalami dunia seni pedalangan dan karawitan Jawa ketika hijrah ke Yogyakarta. Dia bergaul dengan banyak seniman dan dalang sembari bertukar pikiran dan pengalaman.

Dari pergumulan itu, timbul terobosan untuk menggabungkan seni pertunjukan wayang kulit Jawa dengan cerita klasik Tiongkok. Pada tahun 1925, Gan Thawn Sing kemudian menggubah bentuk kesenian wayang baru, Wayang Kulit Cina-Jawa (Wacinwa).

Wacinwa, lanju Woro Mastuti, dikenal pula dengan Wayang Thithi, karena berasal dari suara thi... thi.. thi.. alat musik berbahan kayu, Piak Ko dan gemerincing suara alat musik Kepyak.

Teknis pertunjukan Wacinwa tak jauh berbeda dengan wayang kulit Jawa. Durasi pertunjukan sekira 6-7 jam. Menggunakan bahasa Jawa, lebih banyak ragam ngoko, serta penarasian tetap menggunakan suluk, kandha, dan carita.

Perbedaan terletak pada lakon. Wacinwa menggunakan lakon cerita klasik kepahlawanan (wiracarita) Tiongkok, Sie Jin Kwie, nan kondang pada masa pemerintahan Dinasti Tang (618-907 M). Terdapat dua varian cerita Sie Jin Kwie; Ceng Tang atau menyerbu ke timur da Ceng See menyerbu ke barat.

Tradisi Tiongkok tak mengenal konsep panakawan (tokoh pengiring setia, pembanyol, juga bersifat mitis). “Tapi Gan Thawn Sing tetap menggubah tokoh mirip panakawan dengan tata busana dan tata rambut bercorak China Klasik. Namun tak ada tokoh Semar, karena dianggap sebagai lambang kemuliaan orang Jawa,” terang Woro Mastuti.

Sepeninggal Gan Thawn Sing pada 1967, pertunjukan Wacinwa terbilang surut hingga punah karena tak ada regenerasi. (Yudi Anugrah)

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan