Jakarta dalam Visi Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin, Kota Mercusuar Modern Negara Asia-Afrika
Selasa, 04 Februari 2025 -
MerahPutih.com - Halo, Guys! Sekarang kita akan membahas salah satu bab penting dalam sejarah Indonesia, yaitu masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966).
Tahu enggak, masa Demokrasi Terpimpin ternyata membawa pengaruh besar bagi pembangunan Jakarta? Dampaknya pun masih bisa kita rasakan sampai sekarang.
Selama masa ini, Presiden Sukarno punya kuasa besar dalam pemerintahan. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ia menjadi penentu jalannya pemerintahan bersama Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia.
Sukarno juga berupaya membentuk Jakarta menjadi ibu kota yang megah dan modern.
Bayangkan, pada masa lalu, Jakarta hanyalah kota biasa dengan jejak kolonial. Sering pula disebut sebagai 'kampung besar' lantaran masih ada wilayah yang becek dan jorok.
“Kawan, engkau sudah pernah dengar nama kampungku, bukan? Kebun Jahe Kober, 500 meter garis lurus dari istana. Dan engkau pun sudah tahu juga, bukan? Got-gotnya diselubungi tai penduduk kampung.”
Begitu pembuka cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul “Kampungku” yang termuat dalam buku Menggelinding I. Cerita ini menggambarkan keadaan Jakarta pada 1950-an.
Namun, berkat visi besar Sukarno, Jakarta berubah menjadi simbol kebangkitan dan kemajuan bangsa.
Baca juga:
Proyek Mercusuar Sukarno di Jakarta
Sukarno membayangkan Jakarta sebagai kota mercusuar negara-negara Asia Afrika yang masih terjajah oleh kolonialisme Barat.
Dalam bahasa Sukarno, negara-negara itu disebut sebagai the New Emerging Forces (Nefos) atau kekuatan baru.
Lawan Nefos adalah negara-negara kolonialis Barat seperti AS dan Inggris yang disebut sebagai the Old Established Forces (Oldefos).
Kamu tahu kan mercusuar? Itu lho bangunan yang berdiri tegak di tepi pantai, memandu kapal-kapal agar tidak tersesat pada malam yang gelap.
Nah, Sukarno ingin Jakarta menjadi seperti itu, sebuah panduan dan inspirasi bagi negara-negara yang masih berjuang melawan penjajahan.

“Berikan Jakarta satu tempat yang hebat di dalam kalbu rakyat Indonesia sendiri, sebab Jakarta adalah milik daripada orang-orang Jakarta," kata Sukarno, seperti diceritakan oleh Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta Sejarah 400 Tahun.
"Jakarta adalah milik daripada seluruh bangsa Indonesia. Bahkan Jakarta jadi mercusuar daripada perjuangan seluruh umat manusia. Ya, the new Emerging Forces,” lanjut Sukarno.
Secara resmi, pembangunan Jakarta tercatat dalam Projek Jakarta City Planning, bagian dari Rancangan Dasar Pembangunan Nasional buatan Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Tapi, Sukarno lebih tertarik dengan proyek-proyek yang dia ciptakan sendiri. Proyek itu terbentang di koridor Kebayoran Baru-Thamrin.
Bangunannya berupa Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Sarinah Department Store, Tugu Nasional, Masjid Istiqlal, Planetarium, Gedung Pola, Jembatan Semanggi, Kompleks Stadion Utama Asian Games (sekarang Stadion GBK), Gedung Conefo (sekarang DPR/MPR), dan monumen besar seperti Tugu Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara (patung Pancoran).
Proyek-proyek ini disebut Proyek Mercusuar Sukarno karena enggak didasarkan pada ketetapan resmi MPRS.
Menurut Yuke Ardhiati, arsitek yang meneliti proyek Mercusuar Sukarno, proyek Mercusuar juga bisa disebut sebagai proyek politis propaganda.
"Dalam upaya menggapai kedudukan Indonesia sebagai negara terkemuka di antara negara-negara di Asia-Afrika yang mengalami koloni bangsa-bangsa Eropa," sebut Yuke dalam disertasinya, Panggung Indonesia : Khora Pesona Karya Arsitek Soekarno 1960-an.
Baca juga:
Sejarah Program Makan Bergizi Zaman Sukarno, Menggugah Kesadaran Gizi Anak Sekolah
Makna Proyek Mercusuar di Jakarta
Sebagai arsitek, Sukarno sangat menekankan pentingnya seni dalam pembangunan kota. Dia percaya arsitektur bisa menciptakan masyarakat ideal.
Makanya, Sukarno menggandeng seniman dan arsitek top seperti Edhi Sunarsho dan Frederick Silaban untuk mewujudkan visinya.
Sukarno juga suka banget dengan simbolisme. Dia percaya bahwa simbol bisa membentuk karakter dan kepribadian bangsa.
Jadi, Jakarta bukan cuma tempat tinggal, tapi juga ruang untuk ide-ide besar seperti antineokolonialisme.
Sukarno enggak mau Jakarta jadi kota dengan jejak kolonial Belanda. Dia ingin Jakarta jadi kota modern yang mewakili cita-cita Indonesia baru yang enggak ada bau-bau kolonialnya.
Sebagai langkah awal, dia mengganti nama Lapangan Gambir jadi Lapangan Merdeka. Di tengah lapangan itu, Sukarno membayangkan sebuah tugu tinggi yang kita kenal sebagai Monumen Nasional.
Tugu ini melambangkan perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan masa depan yang lebih baik.

“Tak ada gedung-gedung atau bangunan-bangunan semi permanen yang jelek menghalangi pandangan mata, tak ada gubuk-gubuk warung yang tak sesuai lagi dengan alam sosialisme,” kata Sukarno, seperti dicatat dalam majalah jadul, Djaja, 16 Februari 1963.
Selain Monas, ada juga Monumen Irian Barat di Lapangan Banteng yang dibangun untuk merayakan keberhasilan Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda.
Saat meresmikan monumen ini, Sukarno berpidato.
“Monumen ini harus menggambarkan satu manusia perkasa yang telah melepaskan dirinja daripada segenap belenggu-belenggu yang telah mengikat dirinja, baik fisik, maupun materiil, maupun spirituil," kata Sukarno
Enggak cuma itu, Sukarno juga membangun Tugu Selamat Datang pada awal 1961.
Monumen ini terdiri dari dua patung: laki dan perempuan. Tangannya melambai. Melambangkan sambutan pada atlet-atlet Asian Games 1962.
Saat itu, Jakarta, sebagai tuan rumah Asian Games 1962, tengah mempersiapkan infrastrukturnya.
Selain penyambutan buat para atlet, ada makna lain dari lambaian itu.
“Melukiskan penyambutan terhadap datangnya masa depan, yaitu masyarakat adil dan makmur,” tulis majalah jadul Star Weekly, 9 September 1961.
Monumen Selamat Datang ditempatkan di tengah bundaran besar (sekarang disebut Bundaran HI) di Jalan MH Thamrin-Sudirman, yang menghubungkan pusat kota dengan Kebayoran Baru.
Di jalan ini pula, gedung-gedung modern seperti Hotel Indonesia dan Wisma Nusantara setinggi 29 lantai tengah dibangun.
Baca juga:
Manusia sebagai Subjek, Objek, dan Saksi Sejarah, Mengungkap Kisah di Balik Perubahan Zaman
Menyambut Asian Games 1962
Ke selatan Jakarta, ada Jembatan Semanggi yang dibangun untuk mengatasi kemacetan saat Asian Games 1962. Jembatan ini jadi simbol modernitas Jakarta.
“Lalulintas disini diatur secara modern, dimana kendaraan-kendaraan di jalan perempatan jang hendak membelok ke kiri, ke kanan atau terus, tidak usah berhenti dulu menunggu lain kendaraan lewat. Dengan demikian lalulintas berjalan jauh lebih cepat dan praktis,” tulis R.O. Simatupang dalam buku Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja 1960.
Jembatan Semanggi didesain dengan bantuan teknisi Swiss dan arsitek Indonesia, Soenarjo Sosro. Desainnya keren banget dan di sepanjang pagarnya ada kursi taman buat yang mau menikmati pemandangan Jakarta.
Pada 23 Mei 1958, Jakarta ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Ini jadi momen penting buat Indonesia, apalagi setelah tim Indonesia merebut gelar juara di Piala Thomas 1958.

Sukarno melihat olahraga sebagai alat pembangunan karakter bangsa. Dia memerintahkan Gubernur Jakarta, Soemarno, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur Asian Games (AG).
Pembangunan itu termasuk pula Kompleks Olahraga Senayan. Salah satunya Stadion GBK yang dibantu oleh tenaga ahli dari Uni Soviet.
“Pembangunan proyek AG kini dilakukan dengan giatnya. Beribu-ribu buruh dan berpuluh-puluh tenaga ahli dan administrasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri dikerahkan agar proyek tersebut di atas dapat selesai tepat pada waktunya. Pekerjaan dilakukan siang malam tanpa berhenti,” begitu berita Minggu Pagi, 23 Maret 1961
Selain proyek Asian Games, Gedung Pola setinggi enam lantai juga dibangun di Jalan Pegangsaan.
Pembangunan gedung ini bertujuan sebagai tempat pameran maket-maket proyek pembangunan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berentjana Delapan Tahun 1961—1969.
“Pembangunan tidak dapat dilaksanakan tanpa seluruh rakjat Indonesia. Rakyat harus diikutsertakan dengan semangat dan keinsyafan dan oleh karena itu rakyat harus tahu untuk apa pada tanggal 1 Januari 1961 kita mengayunkan cangkul pertama memulai pembangunan semesta tahapan pertama," sebut mingguan Star Weekly, 8 April 1961
Pembangunan Jakarta selama 1958—1965 bikin banyak orang kagum. Media cetak gencar melaporkan kemajuan ini, lengkap dengan foto-foto keren.
Bahkan ada cerita tentang supir taksi yang bangga banget sama pembangunan di Jalan MH Thamrin. Dia bilang ke turis asing, “Kita memasuki Jalan Thamrin, boulevard (jalan raya dengan pepohonan dan trotoar di tepinya) yang tak kalah dengan boulevard manapun di luar negeri."
"Anda lihat, bahwa di tepinya sudah mulai berdiri gedung megah, sesuai dengan boulevard-nya.”
Turis itu kagum, meski dia saranin buat nanam pohon biar enggak terlalu panas dan silau.
Baca juga:
Mengenal Tritura, Suara Rakyat di Tengah Krisis Ekonomi dan Politik
Kritik terhadap Proyek Mercusuar dan Relevansi Hari Ini
Meski Jakarta marak dengan pembangunan, ada sebagian kelompok masyarakat yang mempertanyakan pentingnya pembangunan tersebut.
Kubu anti-Sukarno menyatakan gagasan Sukarno terlalu ambisius dan jauh dari kebutuhan sehari-hari rakyat Indonesia.
Apalagi keadaan ekonomi juga buruk. Rakyat antre di mana-mana hanya buat mendapat kebutuhan pokok.

Namun, kritik-kritik itu sangat sukar diungkap secara langsung dan luas. Sebab, pers saat itu diawasi secara ketat.
Pers lebih berfungsi sebagai corong pemerintah ketimbang pemantau kekuasaan. Kalau diibaratkan masa sekarang, pers saat itu hanya jadi buzzer pemerintah.
“Pengendalian pers semakin diintensifkan lagi pada tahun-tahun 1960—1961. Pada tahun 1960, redaksi surat kabar diharuskan berjanji setia kepada ideologi negara,” terang Herbert Feith, peneliti AS, dalam bukunya, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin.
Yuke Ardhiati juga menyatakan bahwa "Secara moral tindakan Soekarno ini sukar untuk diterima ada masa itu."
Namun hari ini, ternyata proyek Mercusuar itu menjadi pendorong perkembangan wilayah dan ekonomi.
GBK ikut menumbuhkan pusat bisnis di sekitarnya. Begitu pula Sarinah dan Hotel Indonesia.
Selain itu, Yuke berpendapat bahwa hari ini, karya arsitektur proyek Mercusuar itu justru menjadi "Penanda kemajuan di bidang perancangan bangunan di Indonesia sebagai bangunan arsitektur modern yang mengandung ornamen khas."
Nah, bagaimana sekarang? Apakah kita bisa mengambil inspirasi dari visi besar Sukarno untuk membangun kota-kota kita hari ini? (dru)
Baca juga:
Demo Mahasiswa 1966, Ketika Suara Anak Muda Mengubah Sejarah Indonesia