Cara Salah Satu Lembaga Filantropi Terbesar di Indonesia Menangani Kemiskinan Petani
Rabu, 09 Mei 2018 -
KONDISI geografi Indonesia membuat Indonesia memiliki lahan yang subur. Tanah Indonesia yang subur tercermin dari lirik lagu Kolam Susu karya Koes Plus. “Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” demikian penggalan lagu milik band legendaris Indonesia tersebut. Sayangnya, kesuburan tanah di Indonesia justru berbanding terbalik dengan tingkat kemakmuran rakyat Indonesia. Masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Para petani dan peternak Indonesia mengalami kesulitan dalam menjual hasil tani dan hasil ternaknya. Langkanya UMKM membuat mereka terpaksa menjual hasil panennya kepada pihak ketiga. Tak jarang, para tengkulak yang berperan sebagai pihak ketiga membayar dengan harga sangat rendah namun mematok harga penjualan tinggi.
Dalam beberapa kasus, ada pula pihak ketiga yang menipu para petani. Mereka tak membayarkan hasil penjualan produksi mereka. Akibatnya, para petani dan peternak mengalami kerugian dan jauh dari kehidupan layak.

Salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia, Dompet Dhuafa berusaha menangani kemiskinan yang dialami oleh para petani dan peternak di desa. Caranya dengan memberdayakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Hal pertama yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa adalah melihat kelayakan wilayah dan kelayakan penerima manfaat. Proses tersebut tak dilakukan dalam sekejap. Dibutuhkan waktu lima hingga sepuluh kali tinjauan lapangan untuk menemukan petani atau peternak yang cocok untuk diberdayakan.
Dalam memberi bantuan, ada beberapa kriteria yang dimiliki oleh Dompet Dhuafa. “Sebelum memutuskan kelompok tani yang bisa diberdayakan kami melihat potensi SDM, potensi wilayah dan potensi produk,” jelas Direktur Karya Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa, Jodi H Iswanto.
Setelah menemukan petani berpotensi tersebut, Dompet Dhuafa akan melakukan verifikasi dengan cara berbicara dengan pemuka masyarakat setempat. “Biasanya kami akan menanyakan apakah benar petani tersebut memberdayakan hasil tani yang berpotensi di pasaran,” tutur Jodi saat ditemui di acara 25 Tahun Membentang Kebaikan Dompet Dhuafa, Selasa (8/5).
Selanjutnya akan dibuat kesepakatan dan dibuat program sesuai target. Para petani yang telah sepakat akan dibentuk menjadi kelompok tani. Menurut Jodi, membuat kesepakatan dengan para petani bukan perkara mudah. Ia menjelaskan, rata-rata petani yang ia temui ragu mencoba sesuatu yang belum terbukti keberhasilannya. Setelah mereka melihat bahwa temannya bisa sukses, secara otomatis mereka akan meniru.
“Jika dalam satu kelompok ada tiga hingga lima orang yang sepakat biasanya akan berjalan sukses,” demikian terangnya. Para petani tak hanya dilibatkan dalam proses produksinya saja. Mereka juga turut berkontribusi saat proses distribusi dan pemasaran.
“Para petani dilibatkan mengirim barang ke konsumen sehingga mereka mendapat feedback langsung dari konsumen,” tutur Jodi. Selain itu, para petani juga akan melihat barang-barang yang diretur dan melihat review dari konsumen. Selanjutnya mereka akan melakukan perbaikan sesuai dengan komentar dari konsumen. Jodi menuturkan bahwa target Dompet Dhuafa akan kegiatan ini adalah memancing potensi lokal dan intervensi dari pemerintah daerah.
Tantangan yang biasa dihadapi oleh Dompet Dhuafa dalam memberdayakan potensi masyarakat adalah kurangnya respon dari pemerintah setempat. Dirinya berharap, setelah proses produksi berjalan pemerintah daerah melakukan pembinaan kepada kelompok tani. Faktanya masing-masing pemerintah daerah memiliki sikap berbeda dalam merespon kegiatan Dompet Dhuafa.
“Ada daerah yang turut mendukung kegiatan kelompok tani dengan menyediakan fasilitas dan pembinaan, namun ada juga yang tak merespon. Ia berharap pemerintah setempat dapat lebih melakukan intervensi supaya kemampuan para petani daerah dapat meningkat drastis. (avia)