Aksi Mata-Mata Jepang di Indonesia pada 1930-an, Rahasia Sukses Mengalahkan Belanda dalam Tiga Bulan
Rabu, 29 Januari 2025 -
MerahPutih.com Halo, Guys! Bayangin suatu hari kamu lagi nongkrong di warung kopi, terus ada orang asing yang asyik banget ngobrol sama warga lokal.
Enggak cuma ngobrol, orang itu juga mencatat sesuatu. Dia bilang lagi jalan-jalan merasakan tempat baru. Eh, belakangan baru ketahuan bahwa dia sebenarnya mata-mata alias agen spion.
Maksud spion di sini bukan kaca spion di kendaraan, ya, melainkan intel atau orang yang bertugas mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan informasi buat bikin keputusan yang tepat.
Kegiatannya itu disebut spionase atau intelijen.
Nah, itulah yang pernah dilakukan beberapa orang Jepang di Hindia Belanda, nama lama Indonesia, selama 10 tahun, sejak 1930-an sampai kedatangan mereka pada awal 1942.
Sebelum menyerang Pearl Harbor dan menduduki Indonesia, Jepang sudah mengumpulkan informasi tentang situasi di Indonesia.
Mulai dari adat-istiadat, struktur masyarakat, perekonomian, organisasi pergerakan nasional, sampai kekuatan militer Belanda.
"Spionase ala Jepang mencakup semua bidang," kata Wenri Wanhar, sejarawan yang pernah mengulik intel-intel Jepang di Indonesia.
Berkat aksi mata-mata atau spionase mereka, Jepang bisa mengalahkan Belanda dalam tiga bulan saja!
"Boleh dikatakan, spionase Jepang berhasil menerapkan teori Sun Tzu: 'memenangi pertempuran tanpa berperang," tambah Wenri yang juga pernah menulis buku Jejak Intel Jepang:Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi.
Baca juga:
Sun Tzu, Inspirasi Mata-Mata Jepang
Sun Tzu adalah ahli strategi perang asal China yang hidup pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Ia menjadi inspirasi banyak cendekiawan Jepang yang memikirkan perluasan pengaruh Jepang ke Selatan.
Meski Sun Tzu jadi inspirasi, orang Jepang enggak menelan penjelasannya bulat-bulat. Mereka mengeksplorasi lagi strategi Sun Tzu dan menyesuaikannya dengan kebutuhan serta keadaan zaman.
Karena itulah, muncul apa yang disebut total intelijen.
"Jepang menjalankan spionase militer, ekonomi, industri, ilmu dan teknologi, kebudayaan, selera konsumen, kotak saran, tingkah laku manusia, ekologi, dan seterusnya," terang Wenri.

Profesor I Ketut Surajaya, dalam pengantarnya di buku Jepang dan Pergerakan Kebangsaaan Indonesia, mengatakan bahwa mata-mata Jepang telah dikirim ke Asia Tenggara sejak awal abad ke-20.
Pengiriman agen mata-mata Jepang dikerjakan secara tidak resmi oleh Kokuryukai, organisasi ultranasionalis Jepang.
Ultranasionalis itu orang-orang yang kecintaannya terhadap negara besar banget. Sampai-sampai sikapnya keras dan berlebihan. Sering memandang negara dan bangsa lain lebih rendah juga.
Kata Profesor Ketut, tugas mata-mata Jepang waktu itu adalah "Mengumpulkan data dan informasi militer maupun informasi ekonomi yang amat berguna bagi para pengusaha Jepang."
Jadi, informasi itu belum langsung buat pemerintah Jepang. Sebab, waktu itu Jepang lebih butuh wilayah untuk menjual barang hasil industri dan bahan baku pembuatannya.
Makanya ada gagasan yang disebut ekspansi ekonomi ke selatan (nanshin-ron) secara damai.
Baca juga:
Fotografer dan Nelayan yang Punya 'Misi Rahasia'
Baru pada 1930-an, aktivitas mata-mata mereka ditujukan untuk kepentingan pemerintahnya. Masa ini bersamaan pula dengan 'banjir' barang impor dari Jepang ke Indonesia.
Laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda dalam Ten Year Japanese Burrowing in Netherlands East Indie menyebut bahwa aktivitas mata-mata Jepang ini melibatkan turis, ilmuwan, pedagang, nelayan, dan pejabat konsulat Jepang sendiri!
Jadi, mata-mata itu enggak selalu pakai jas hitam dengan kacamata gelap.
Nah, salah satu kisah yang paling menarik adalah banyaknya fotografer Jepang yang berkeliling dari desa ke desa.
Padahal waktu itu jasa fotografer keliling termasuk mahal buat warlok di desa.
"Jadi, pendapatan mereka bisa dibilang kecil banget. Tapi mereka tetap berusaha menjelajah setiap sudut pulau dan membangun relasi dengan pejabat lokal, yang mungkin punya arti penting bagi tujuan mereka," tulis Pemerintah Hindia Belanda.
Enggak cuma itu, nelayan Jepang juga kerap masuk ke perairan Hindia Belanda dengan dalih mencari ikan. Jumlah mereka sekira 4.000.

Meski enggak semuanya jadi mata-mata, mereka dianggap penting bagi Angkatan Laut Jepang dan punya tugas besar dalam pergerakan Jepang ke Selatan.
Pada 1938, sempat ada insiden ketika sebuah kapal nelayan Jepang tertangkap basah di perairan Biliton. Saat diminta berhenti oleh patroli Hindia Belanda, mereka malah kabur dan baru berhenti setelah ditembaki.
Jepang langsung protes keras dan meminta pemerintah Hindia Belanda minta maaf serta membayar ganti rugi.
Namun, pemerintah Hindia Belanda enggak menuruti tuntutan itu.
"Situasi berlanjut memburuk dengan kampanye anti-Belanda yang marak di media Jepang," sebut laporan pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga:
Konsulat Jepang, Sarang Mata-Mata Berkedok Diplomasi
Sebenarnya, hubungan pemerintah Jepang dan Hindia Belanda awalnya erat banget. Bahkan pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang Jepang sejajar dengan orang Eropa dalam struktur masyarakat kolonial Indonesia.
Sementara orang Tionghoa dan Arab (keduanya disebut kelompok Timur Asing) berada di posisi kedua. Orang lokal atau pribumi jadi yang paling bawah.
Dengan status setara orang Eropa, orang Jepang punya kedudukan istimewa. Mereka dilindungi oleh hukum Hindia Belanda. Kalau mau bisnis dan dagang di Hindia Belanda pun disediakan fasilitas.
Bahkan pemerintah Hindia Belanda mengizinkan konsulat jenderal Jepang di Batavia pada 1909. Itu artinya pemerintah Hindia Belanda menerima orang Jepang secara damai.
"Tetapi, pada pertengahan akhir dekade tahun 1930-an 'hubungan damai' di antara Jepang-Hindia Belanda selama itu mulai menampakkan perubahan besar," cerita Ken'ichi Goto, sejarawan Jepang, dalam buku Jepang dan Pergerakan Kebangsaaan Indonesia.

Bahkan pemerintah dan sebagian pers Hindia Belanda menganggap salah satu pusat utama aktivitas mata-mata Jepang adalah konsulat mereka.
Secara formal, konsulat seharusnya mengurus urusan warga negara Jepang di luar negeri. Tapi di balik itu, kantor konsulat Jepang justru jadi tempat perencanaan operasi rahasia.
Dalam banyak kasus, para pejabat konsulat Jepang diketahui sering bertemu dengan tokoh nasionalis lokal dan jurnalis untuk menyebarkan propaganda anti-Belanda.
Bahkan, mereka juga terlibat dalam pendanaan surat kabar berbahasa Melayu yang diam-diam menyebarkan pesan pro-Jepang dan anti-kolonialisme.
Salah satu contoh ekstrem adalah kasus Yoshizumi Tomegoro, editor surat kabar Jepang Tohindo Nippo. Dia enggak hanya menyebarkan berita pro-Jepang, tapi juga aktif merekrut orang-orang lokal untuk mendukung propaganda Jepang.
Ketika akhirnya diusir dari Hindia Belanda pada 1941 karena tuduhan mata-mata, Tomegoro tetap kembali secara ilegal dengan menyamar sebagai warlok.
Tomegoro juga membawa uang 57.000 gulden untuk membiayai operasi mata-mata Jepang di Bangka!
Baca juga:
Akhir dari Jaringan Mata-Mata
Selain menyusup dengan kedok nelayan, jurnalis, dan diplomat, Jepang juga gencar menggunakan strategi propaganda halus.
Ini teknik menyebarkan rumor secara diam-diam di kalangan pribumi, terutama untuk meyakinkan bahwa Jepang akan segera mengusir Belanda dan membebaskan Indonesia.
Bahkan, beberapa mata-mata Jepang sampai menggunakan ramalan kuno Raja Jayabaya soal "bangsa kuning" yang akan datang buat sementara waktu sebelum Indonesia merdeka.

Enggak hanya itu, Jepang juga memanfaatkan hubungan dengan komunitas Islam. Mereka membangun masjid di Jepang untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap Islam, mencetak Al-Qur'an dalam bahasa Arab, dan mengundang pemuka agama dari Nusantara ke Tokyo pada 1939.
Sayangnya, cetakan Al-Qur'an Jepang penuh dengan kesalahan, sampai-sampai ulama di Hindia Belanda mengimbau agar tidak menggunakannya.
Perusahaan dagang Jepang juga bukan sekadar bisnis biasa. Beberapa di antaranya didanai langsung oleh pemerintah Jepang untuk menjalankan misi intelijen.
Contohnya, Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha, perusahaan yang bergerak di sektor pertanian dan perkebunan, tapi diam-diam mengirim laporan ke Angkatan Laut Jepang tentang potensi sumber daya di Hindia Belanda.
Bahkan, ada perusahaan perikanan Jepang yang ingin mendirikan enam stasiun besar di berbagai kota di Indonesia, mulai dari Ambon hingga Surabaya.
Padahal, tujuan aslinya bukan untuk bisnis, melainkan sebagai titik strategis buat mendukung operasi militer Jepang saat waktunya tiba.
Meskipun upaya Jepang sangat luas dan sistematis, ternyata masyarakat pribumi tetap waspada. Ketika Jepang akhirnya menyerang Hindia Belanda pada 1942, banyak orang sudah tahu siapa kawan dan siapa lawan.
“Reaksi spontan dari semua ras di Hindia Belanda terhadap pecahnya perang membuktikan bahwa mereka selalu sadar akan jebakan manis bala tentara Jepang,” tulis laporan pemerintah Hindia Belanda.
Nah, begitulah kisah mata-mata Jepang di Hindia Belanda. Mereka menyusup lewat segala lini. Dari fotografer, nelayan, diplomat, sampai pebisnis.
Kalau kamu hidup di zaman itu dan melihat orang asing mencatat-catat hal mencurigakan, kira-kira apa yang bakal kamu lakukan? (dru)
Baca juga:
Sejarah Awal Mula Ambisi Jepang di Asia, Perluasan Wilayah ke Selatan yang Bikin Sengsara Indonesia