Vihara Dharma Rakhita, Kayunya Berasal dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa


Kayu-kayu yang digunakan untuk klenteng ini kayu yang sama yang dipakai pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa. (Foto: MP/Mauritz)
KLENTENG Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita ini, merupakan salah satu bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah ibadah ini terletak di kawasan Jamblang, Kabupaten Cirebon, berada di antara kawasan Pecinan yang cukup tua di wilayah Cirebon.
Konon klenteng ini dibangun sekitar tahun 1500-an sama dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada di dekat Alun-Alun Keraton Kesepuhan Cirebon. Hal tersebut tidak terlepas dari kisah sejarah yang melatarbelakangi pembangunan klenteng ini. Dan uniknya, bagian atap dari klenteng ini merupakan salah satu dari bagian Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kesepuhan Cirebon.
Baca Juga:

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat menceritakan, ketika Masjid Agung Sang Cipta Rasa sedang dibangun sekitar tahun 1480 M, ada komunitas Tionghoa dari wilayah Jamblang, yang ingin membangun sebuah klenteng. Mereka pun meminta sisa kayu jati yang digunakan untuk membangun tiang masjid, untuk kemudian dijadikan bahan membuat klenteng.
Pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa sendiri dipimpin oleh Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Setelah mengetahui maksud kedatangan orang-orang Tionghoa tersebut, akhirnya Sunan Gunung Jati mengizinkan untuk meminta kayu.
"Sunan Gunung Jati yang pada waktu itu memimpin Kesultanan Cirebon, mengizinkan agar komunitas Tionghoa itu meminta kayu," jelas Sultan.
Baca Juga:

Sultan melanjutkan, kayu tersebut kemudian dibawa oleh komunitas Tionghoa tersebut ke Jamblang, dengan menggunakan pedati. Kayu tersebut pun digunakan sebagai 'wuwungan', yang dalam Bahasa Jawa artinya atap. Kini, atap yang berasal dari kayu Masjid Agung Sang Cipta Rasa tersebut masih tetap dipertahankan keasliannya.
Konon katanya, Sultan menambahkan, kayu tersebut sempat mengeluarkan air, seolah seperti menangis. Kemungkinan, hal tersebut dikarenakan kayu itu sedang bersedih karena tidak dijadikan untuk masjid, melainkan untuk klenteng.
Meskipun begitu, lanjut Sultan, dengan adanya kisah sejarah tersebut, merupakan bukti bahwa masyarakat Cirebon sudah menjunjung tinggi toleransi sejak zaman dahulu kala. Hal itulah yang membuat budaya Cirebon ini unik, dengan segala macam akulturasinya.
"Cirebon sudah menjunjung tinggi nilai toleransi, dari dulu hingga sekarang," pungkasnya. (*)
Baca Juga:
4 Tempat Bersejarah di Kota Cirebon Ini Sangat Instagramable
Tulisan dari Mauritz kontributor merahputih.com untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Bagikan
Yohanes Charles/Mauritz
Berita Terkait
Gagal Kerja di Pabrik Mobil Listrik, Puluhan Warga Cirebon Terlantar Jalan Kaki dari Subang

Imbas Tragedi Gunung Kuda, Cirebon Tanggap Darurat Longsor Hingga 6 Juni

Fakta-Fakta Longsor di Gunung Kuda Cirebon, Aktivitas Tambang Dihentikan

Mitigasi 10 Titik Rawan Bencana di Jalur Cirebon Selama Mudik Lebaran, KAI Sebar AMUS di Tepi Rel

Awal Kebakaran di Grage Mall Terjadi di Bagian Atap, Evakuasi Dilakukan Lewat Pintu Belakang

Grage Mall Cirebon Kebakaran, Api Mampu Dijinakan dalam Waktu 30 Menit

Sidang Praperadilan Pegi Setiawan Digelar Senin (24/6)

3 Tradisi Unik di Indonesia Merayakan Idul Adha

Pemkab Cirebon Tetapkan Status Tanggap Darurat Mempercepat Penanganan Dampak Banjir

Bangunan Bersejarah Gedung Bundar Cirebon Ditetapkan Jadi ZEK
