Pensiun dini, kata mereka. Meskipun pesangon yang dikantunginya cukup besar ia tetap merasa kalut. Belum lagi statusnya di media online perusahaannya hanya sebagai pegawai kontrak. Ia merasa semakin tidak menentu.

Sesampainya di rumah, ia segera mengabari istrinya. Terlihat ekspresi kecewa di wajah istrinya. Sama seperti Adit, sang istri sebenarnya tahu kapanpun bisa menjadi hari terakhir suaminya di kantor.

Sama seperti suaminya, istrinya pun terus dihantui ketakutan. Bukan saja karena pandemi membuat siapapun sulit mencari pekerjaan tetapi mereka juga sedang menanti kelahiran buah hatinya yang pertama. Otomatis pengeluaran akan bertambah.

"Berdoa aja yang terbaik. Mudah-mudahan masih ada rejeki di media onlinenya," demikian istrinya coba menghibur. Akhir bulan menjadi penentuan apakah kontraknya dengan media online akan dilanjut.

Mengingat sebelumnya status ia di media online hanya dipinjamkan dari media cetak dan kini ia dipensiunkan oleh perusahaan, ia hanya bisa berharap kontraknya diperpanjang.

Namun, hingga akhir bulan tidak ada satu kabar pun untuknya. Sementara dua rekannya yang juga pernah dipinjamkan ke media online, Arsan dan Dito sudah dapat kabar bahwa kontraknya berlanjut. Ia pun berinisiatif untuk menghubungi bagian HRD.

"Siang pak. Saya Adit, desain grafis koran yang kemarin dipinjamkan ke online. Mau tanya, kelanjutannya gimana ya pak?" tanyanya. "Oh iya mas. Maaf yang nggak diperpanjang," jawab suara disebrang sana tanpa berbasa basi.

Dunianya seolah runtuh. Suara seringan itu mampu menggoyahkan dunia Adit. "Baik terima kasih," cetus Adit. Ia pun segera mengajak istrinya berbincang-bincang. "Aku nggak diperpanjang," pernyataan singkat yang terdengar menyayat hati. Kali ini istrinya gagal menyembunyikan gurat kekecewaan.

"Terus gimana?" Tanya istrinya. "Aku izin pakai uang pesangon untuk beli iMac ya. Aku mau kencengin usaha freelance," ia meminta persetujuan sang istri. Istrinya pun hanya mengangguk.

Usai membeli komputer dengan spesifikasi penunjang pekerjaan, Adit mendatangi salah satu temannya, yang seorang teknisi di kantor. Selain minta tolong untuk menginstall program yang diperlukan ia ingin pamit.

"Aku pamit ya mba, mas," ia undur diri. Tampak ekspresi kaget di wajah teman-temannya saat ia pamit. Beberapa tidak percaya sementara yang lainnya menyampaikan kekecewaan karena Adit akhirnya keluar.

Adit, yang merupakan karyawan senior adalah orang yang ramah dan senang main dengan semua karyawan di kantor, laki-laki atau perempuan apapun posisi mereka. Ia tidak ingin berlama-lama di kantor itu.

Hatinya tidak sekuat itu untuk berlama-lama di gedung yang penuh kenangan. Setiap sudut di ruangan itu menyimpan kenangannya mulai dari awal ia berkarir di sana sejak usia yang masih sangat muda, 19 tahun.

Dengan langkah gontai ia turun ke bawah. Ia mulai menghubungi satu persatu rekan kerjanya yang tidak ia temui di kantor karena WFH. Terdengar suara tidak percaya dari ujung sana.

Selang beberapa hari kemudian, ia kembali ke kantornya. Ia ingin mengambil komputernya yang sudah selesai di install. Dirinya telah memutuskan untuk fokus bekerja sebagai freelancer.

Tetap Survive di Tengah Kemelut UU Cipta Kerja dan Pandemi Meski Kena PHK
Optimisme pasca PHK (Foto: Pexels/Vlada Karpovic)

Dia membuka ponselnya untuk mengecek media sosial. Ia melihat unggahan mantan rekan kerjanya, Ganang (bukan nama sebenarnya). "Terima kasih kantor atas enam tahunnya. Aku pamit," demikian tulisnya.

Walaupun Adit tahu satu persatu temannya akan dihentikan, dirimya cukup kaget karena tahu Ganang adalah salah satu karyawan yang sudah sangat lama di kantor itu. Dirinya pun segera menghubungi Ganang.

Tidak berapa lama mereka sudah terlibat obrolan. Sama seperti dirinya yang kaget, Ganang pun kaget saat tahu Adit dihentikan. Kondisi WFH membuat mereka tidak saling tahu getirnya nasib satu sama lain.

"Iya, Dit. Padahal sabtu itu aku masih ngetik berita. Sorenya dikabarin aku ngga diperpanjang kontraknya," meski bicara dengan nada tenang, Adit bisa menangkap ekspresi kecewa dari suara Ganang.

Baca juga:

Fresh Graduate Enggak Perlu Takut, Omnibus Law Bukan Jadi Halangan

Dua bulan kemudian Jakarta pecah. Demonstrasi dimana-mana usai pemerintah mengumumkan UU Cipta Kerja disahkan. Adit hanya bisa menggeleng ketika melihat beberapa poin yang tampaknya melemahkan posisi buruh.

Pahit yang ia terima dari perusahaan sebelumnya ditambah UU tidak masuk diakal membuatnya membulatkan tekad. Ia akan berjuang di atas kaki sendiri.

Dirinya akan bekerja secara mandiri dan tidak bergantung pada perusahaan. Ia juga akan lebih banyak waktu untuk mendampingi istrinya yang hamil tua. "I am the master of my fate. I am the captain of my soul," demikian pedoman hidup yang kini ia pegang. (avia)