Sistem Dual Tarif Tidak Lazim
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta kepada Menhub agar membatalkan wacana kebijakan untuk menerapkan dual tarif di dalam tarif KRL.
Menurutnya, secara paradigmatis hal tersebut bermasalah, khususnya dari sisi politik managemen transportasi publik. Kata Tulus, subsidi untuk transportasi massal harus dilakukan, dan merupakan insentif untuk para pengguna kendaraan pribadi yang migrasi ke KRL.
"Sistem dual tarif tidak lazim dalam sistem transportasi massal manapun di dunia. Kemudian, sistem tersebut secara operasional sulit diimplementasikan dan sangat sulit menentukan mana konsumen mampu/kaya, dan mana konsumen tidak mampu," kata Tulus kepada MerahPutih.com di Jakarta, Rabu (4/1).
Tulus menegaskan, sistem dual tarif di lapangan akan menciptakan ketidakadilan baru dan bahkan berpotensi menimbulkan chaos dalam pelayanan. Selain itu, lanjut Tulus, sistem dual tariff jika diterapkan merupakan suatu kemunduran (setback) yang cukup serius.
Oleh karena itu, lanjutnya, hal yang paling rasional adalah mereview tarif eksisting KRL Jabodetabek.
Survei YLKI menunjukkan ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL sebesar Rp 2.000 untuk 25 km pertama. Atau, jika tidak naik tarif, pemerintah musti menggelontorkan dana PSO pada manajemen KCI, karena sesungguhnya tanggung jawab menyediakan transportasi publik adalah domainnya regulator.
"Hal yang juga sangat urgent adalah mendorong manajemen KCI sebagai operator Commuter Line, agar berupaya keras untuk meningkatkan pendapatan dari non tarif (non fare box revenue), seperti naming right pada stasiun, iklan komersial, sewa tenan, dll. Jadi tidak hanya mengandalkan pada tarif revenue saja," ujarnya.
Sementara itu, Corporate Secretary KAI Commuter, Anne Purba menyampaikan bahwa pihaknya erus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Regulator, khususnya Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Pehubungan terkait rencana penyesuaian tarif ini, baik waktu dan besaran serta skema penyesuaian tarifnya.
Menurut Anne, saat ini, KAI Commuter masih terus fokus dalam pelayanan meningkatkan pelayanan bagi penggunanya.
Perspektif KRL untuk Perbaikan Lingkungan
Anggota Komisi V DPR RI Anwar Hafid merespons rencana pemerintah yang akan membedakan tarif kereta KRL berdasarkan status ekonomi.
Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan agar fungsi KRL bisa dikembalikan dalam perspektif sebagai sebuah fasilitas publik yang memiliki tujuan untuk perbaikan lingkungan, kemacetan dan sebagainya.
"Karena itu prespektifnya mesti berfokus bahwa KRL dan commuter Line adalah fasilitas publik dengan tujuan perbaikan lingkungan, kemacetan dan sebagainya," kata Hafid.
Lanjut Hafid, presepektifnya ialah penyelamatan lingkungan pemerintah sedianya harus melalukan subsidi tarif KRL secara keseluruhan.
"Bisa dengan memanfaatkan CSR korporasi. Bukan sekedar sarana transportasi biasa," ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa subsidi tanpa kelas bisa menjadi solusi kemacetan dan mengurangi polusi.
"Subsidi berlaku bagi siapa saja yang menggunakan moda transportasi tersebut. Kalau ini dilakukan maka usaha kita mengalihkan masyarakat ke moda transportasi umum bisa berhasil," pungkasnya. (Pon/Asp/Knu)
Baca Juga