Padahal kondisi tersebut rawan sekali menjadikan pejabat publik terjebak dalam konflik kepentingan. Konflik kepentingan menurut KPK adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Baca Juga:
Stafsus Milenial Jokowi Dikritik tak Jelas Kinerjanya, Tapi Kerap Bikin Gaduh
Mengenai konflik kepentingan juga sudah diatur dalam pasal 43 UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu "Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan dilatarbelakangi:a. adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis;b. hubungan dengan kerabat dan keluarga;c. hubungan dengan wakil pihak yang terlibat; d. hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat;e. hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atauf. hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
Dalam konteks ini, Belva dan Andi Taufan saat masih menjadi stafsus juga memiliki kepentingan bisnis di bidang masing-masing.
Untuk itu pelajaran pertama adalah jangan ada "bekerja di dua kaki" yaitu di ruang publik maupun privat. Mantan komisioner KPK Laode M Syarif mengusulkan agar para stafsus membuat deklarasi agar tidak melakukan konflik kepentingan (conflict of interest) selama menjabat.
"Saya kasihan sama mereka karena ini anak-anak pintar, rising star, inovatif, baik tapi dengan mencemplungkan diri ke situ (pemerintahan) mereka jadi susah mereka. Kalau yang lain itu pengusaha semua, mereka harus membuat 'declaration of CoI' selama jadi stafsus," kata Laode pada 24 April 2020.
Deklarasi itu menurut Laode adalah menyatakan perusahaan masing-masing stafsus tidak akan mendapat keuntungan dari proyek pemerintah manapun. Namun, kata dia, sayangnya mereka akhirnya malah terjebak dalam konflik kepentingan, sabagai adalah satu tangga terakhir menuju korupsi.
"Contohnya Andi Taufan menyurati camat agar kalau bisa dibantu, ini adalah 'conflict of interest'. Saya hargai pengundurkan diri mereka termasuk Belva, tapi jangan-jangan anak-anak muda sudah teracuni kepalanya dengan 'conflict of intererst', ternyata milenial dan kolonial sama saja sifatnya kalau sudah uang lupa semuanya," papar Laode.
Baca Juga:
Pelajaran kedua menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan publik tidak tahu apa fungsi sebenarnya 14 orang stafsus Presiden.
"Saya tidak tahu apa fungsi 14 orang ini memberikan rekomendasi apa, jadi lebih baik saran yang mereka berikan ke Presiden juga diberikan ke publik untuk mengukur kualitas stafsus itu. Kalau tidak bisa memberikan 'advice' ya buang-buang duit saja membayar mereka di sekitar Presiden," kata Kurnia.
Pelajaran ketiga adalah makin samarnya ruang publik dan privat dalam diri pejabat negara malah membawa kondisi Indonesia pada lampau, misalnya pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
ICW berharap kejadian terhadap Belva dan Andi menjadi pembelajaran agar tidak ada lagi stafsus yang diangkat hanya sebagai "gimmick" politik.
"Ini juga jadi evaluasi bagi Presiden Jokowi agar tidak sembarangan mengangkat stafsus karena 'gimmick' milenial hancur karena pengangkatan dan tindakan 2 orang stafsus tersebut," tegas aktivis antikorupsi itu. (*)
Baca Juga
Dianggap Coreng Citra Pemerintah, Pengamat Desak Andi Taufan Dicopot dari Stafsus