Menurut Adi, korespondensinya terjadi sejak lama yakni pasca Pemilu 2004, 2009 bahkan 2014. Partai pengusung capres yang kalah berpotensi untuk melompat pagar masuk ke barisan koalisi pendukung pemerintah. Menurutnya, hal itu yang membuat politik Indonesia jadi menarik karena selalu ramai dan berdenyut setiap saat.
"Belum kelar bicara soal komposisi kabinet, sekarang sudah ramai soal komposisi MPR, tentang siapa yang harus menjadi pimpinan. Ini bukan ramai karena Golkar dan PKB begitu agresifnya merebutkan posisi ketua MPR. Tapi karena ada keinginan Gerindra seakan-akan ingin menyertakan satu klausul rekonsiliasi itu berbasiskan akumulasi politik berbasiskan sharing power itu," ujar Adi saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Peluang kader Gerindra menjadi ketua MPR masih terbuka lebar. Namun, dengan catatan PDIP sebagai pemenang Pemilu mau memberikan karpet merah kepada partai besutan Prabowo Subianto itu.
Adi lantas mencontohkan ketika SBY kembali memenangkan Pilpres 2009. Di periode kedua pemerintahan SBY itu, korespondensinya sederhana, yakni dengan mengakomodasi kelompok oposisi yang satu-satunya diperankan oleh PDIP.
"Dan kebetulan tokohnya (Taufik Kiemas) cukup eksis di semua kalangan jadi nggak perlu repot-repot SBY. Padahal kalau mau jujur SBY 62% kemenangan saat itu. Tidak membutuhkan komposisi oposisi. Tapi karena design ketatanegaraan, dasar negara kita itu dasar filosofisnya menjaga harmoni keseimbangan maka PDIP yang konsisten menjadi opisisi pada saat itu relatif didukung untuk menjadi ketua MPR, ada Taufik Kemas," kata Adi.
Baca Juga: Prabowo Temui Mega, Lobi Gerindra Pagari Kursi Ketua MPR?
Sejalan dengan itu, mayoritas kursi di parlemen saat ini dikuasai partai pendukung Jokowi. Menurut Adi, yang menarik kalau kursi ketua MPR diberikan kepada kader Gerinda.
Namun, Adi memprediksi PKB tak mungkin rela memberikan kursi nomor satu di MPR kepada kader Gerindra ataupun Golkar sebagai partai pemenang Pemilu ke-2 setelah PDIP.
"Di tengah-tengah kemungkinan itu saya cukup sederhana, kok sepertinya pimpinan MPR akan tetap diambil oleh partai pengusungnya Jokowi. Saya cukup yakin itu. Jadi kalau pun Gerindra mau mungkin tidak di pimpinan, di wakil atau di tempat yang lain sebagai bagian dari akomodasi politik," tutur dia.
Baca Juga: Menebak Arti Silaturahmi Politik Airlangga Hartarto dan Cak Imin
Kondisi demikian persis seperti yang disampaikan Presiden Amerika Serikat ke-35 John Fitzgerald Kennedy: "Kemenangan memiliki seribu ayah, tapi kekalahan adalah seperti keadaan anak yatim piatu.”
"Jadi banyak orang yang merasa tiba-tiba memiliki hak untuk mengklaim kemenangan itu. Semuanya merasa paling berhak. Jadi wajar, kalau di internal koalisi Jokowi semuanya merasa berhak. PDIP merasa paling tinggi merasa paling berhak. Golkar juga merasa sebagai partai pemenang kedua merasa paling berhak, PKB apalagi, dan seterusnya," bebernya.
Kawin Silang Dua Kubu
Menurut Adi, bisa saja terjadi kawin silang antara kelompok pendukung Prabowo dengan kelompok pendukung Jokowi. Namun perkawinan silang antara dua kelompok yang sempat menjadi viral dalam Pilpres 2019 harus berjalan secara alamiah.
"Karena bukan MPR-lah yang menjadi satu-satunya domain yang akan ramai satu-satunya di Senayan. Nanti juga komposisi di komisi 1 sampai komisi 11 juga akan terjadi kawin silang antara pendukung 01 dan pendukung 02," imbuhnya.
Baca Juga: Elite Gerindra Bocorkan Posisi Jokowi di Pertemuan Prabowo-Mega
Dengan demikian, lanjut dia, perebutan Ketua MPR hanya perkara elektoral biasa, yang jenjangnya akan selalu dilanjutkan dengan agenda politik lainnya. Seusai pimpinan MPR terbentuk, perhatian publik akan beralih ke Pilkada 2020. Partai-partai yang selama proses Pemilu 2019 mengalami fragmentasi ekstrem akan bertemu bahkan berkoalisi.
"Jadi nggak kebayang kalau PDIP dan PKS nyatu. Satu memiliki ideologi yang menurut orang agak susah ditemukan, tapi dalam berbagai kepentingan dua partai ini, dalam tanda kutip ekstrim kanan dan ekstrim kiri ini bertemu. Kita perlu mengedukasi publik, mengedukasi kita semua bahwa politik kita adalah politik yang cair, politik pertemanan, politik persahabatan," tutup Adi Prayitno. (Pon)