Menurutnya, kelompok pelapor tampak jelas sedang menggunakan pasal penodaan agama terhadap kritik sosial yang disampaikan komika ini untuk memelihara eksistensinya dalam ruang-ruang publik sebagai “polisi agama” dan untuk meningkatkan daya tawar politik mereka.
Selain itu, menurut Hendardi, mereka juga sejatinya sedang mengekspresikan afiliasi kelompok mereka dalam pembelahan politik yang sengaja didesain oleh kelompok tertentu pasca Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta yang lalu.
Dikatakan Hendardi, komika populer lainnya yang juga ada mengangkat isu sensitif agama dalam menyampaikan kritik sosial melalui stand-up comedy. Namun, tidak dipersoalkan oleh kelompok ini karena dalam perhelatan politik elektoral di DKI Jakarta yang lalu termasuk dalam pendukung kubu politik yang mereka usung.
"Mencermati konteks tersebut, pihak kepolisian RI hendaknya tidak secara gegabah melakukan tindakan kepolisian atau meningkatkan status pelaporan penistaan agama ini dalam proses hukum. Proses hukum atas dua komika tersebut nyata-nyata akan mengancam kebebasan berekspresi serta membungkam kreativitas dalam menyampaikan kritik sosial dan dalam berkesenian," ucap Hendardi.
Selain itu, pemerintah diharapkan menghentikan kriminalisasi dengan dalil penodaan agama dan menunjukkan keseriusan untuk menghapus pasal penodaan agama dalam KUHP, PNPS dan UU ITE. (*)