Kampung yang ludes bagai Padang Kurukhsetra itu, menjadi semakin mencekam. Orang-orang dari kampung yang disangkakan sebagai kampung para bencoleng, sudah bergerak pulang, dengan kemenangan. Dua, tiga, hingga empat hari kemudian, kampung itu menjadi semakin mencekam. Namun, memasuki hari ke lima; satu, dua, tiga, puluhan, bahkan ratusan penghuni kampung mulai berdatangan.
Tak ada cerita lain selain bagaimana ia menahan rasa takut saat orang-orang yang disangkakan dari kampung para bencoleng itu merangsek dan mengobrak-abrik kampungnya. Atau, cerita menahan rasa lapar lantaran sampai berhari-hari tidak ada yang berani keluar kampung, karena bersembunyi ke dalam alas, sebab tidak memiliki sanak-saudara sebagai tumpangan untuk berlindung.
“Kepala kampung ke mana, kok belum nampak?” Salah seorang warga kampung menanyakan kepada warga lainnya.
Sampai detik ini, saya juga belum melihat,” jawab warga yang lain.
“Rumahnya juga masih nampak sepi,” tandas warga yang lain lagi.
Terang saja, tidak munculnya kepala kampung pasca kerusuhan di tanah konflik tersebut menjadi pertanyaan besar bagi warga. Terlebih, sebelum puncak penyerangan itu terjadi, tepatnya ketika salah seorang warga yang disangkakan sebagai pencuri sapi itu di-geladak masa, sang kepala kampung pula yang memberikan komando. Lalu, ke mana sang kepala kampung?
Laki-laki ini adalah Saniman. Bukanlah sebagai pahlawan, bukan juga sebagai penyelamat, karena semua sudah terlanjur menjadi bubur. Orang yang disangkakan sebagai pencuri sapi sudah kadung 'lewa' nyawanya, terlebih dengan kampung itu sendiri, sudah kadung mirip dengan perkampungan di sekitar Jalur Gaza, yang nyaris ludes dibombardir oleh tentara Israel.
Dalam pengakuannya saat diintrogasi oleh anggota kepolisian pasca bentrok, Saniman mengaku, orang yang tewas digebuki, lalu disiram bensin dan dibakar itu berhutang uang dengan kepala desa. “Dia tidak mencuri, tapi menagih hutang. Kepala kampung jengkel, teriak malaing," aku Saniman.
Dan, memang begitulah; kesalahan terkadang bisa menjadi 'dosa' yang sulit diampuni, meskipun itu adalah masa lalu yang usang dan tidak akan pernah kembali lagi. Orang yang ludes digeladak masa itu adalah bagian dari orang-orang yang pernah salah, dan masih melekat di benak orang-orang yang kampungnya sudah setengah ludes. (*
Cerpen oleh: Wied H Soemardjono