Menurut Fadli, aparat penegak hukum cepat sekali memproses hukum mereka yang menjadi oposan pemerintah, termasuk para ulama yang kritis, seperti KH Al Khathath, namun publik bisa melihat jika aparat hingga kini masih belum menyentuh orang-orang seperti Nathan, Viktor, misalnya. Ini contoh diskriminasi dan tebang pilih yang bisa merusak wibawa hukum. Belum lagi contoh tuduhan makar yang hingga kini tak jelas juntrungannya.
“Di sisi lain, kasus Asma Dewi dan Saracen, misalnya, saat awal muncul dulu diekspose bombastis, bahkan ekspose kasus itu menurut saya melampaui fakta-fakta yang telah ditemukan polisi. Nama itu dikaitkan dengan Prabowo dan sebagainya, seolah ini adalah sejenis jaringan iluminasi. Namun, saat persidangan akhir November 2017 kemarin, tak ada lagi kata Saracen dan tuduhan transfer dana yang katanya besar dalam berkas tuntutan jaksa di pengadilan kepada Asma Dewi," tandasnya.
“Jadi, siapa sebenarnya yang gemar memproduksi hoax? Bagi saya itu adalah kasus yang memalukan dan mempermalukan aparat penegak hukum sendiri," tambahnya.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya menyadari bahwa keadilan merupakan hal penting dalam kehidupan bernegara. Bahkan, keadilan hukum merupakan syarat fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan. Persoalannya, keadilan hukum ini bisa hilang jika aparat penegak hukum kita bekerja berdasar kepentingan tertentu atau pesanan. Rusak sistem hukum kita.
“Aparat penegak hukum seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Karena di pundak merekalah wibawa hukum diletakkan. Semoga catatan hitam dunia hukum di tahun 2017 ini tak berlanjut di tahun depan," ucap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini. (Pon)